Tuesday, October 25, 2022

PENGERTIAN EKSEPSI




Secara umum, ‘eksepsi’ memiliki arti pengecualian. Namun, dalam hukum acara perdata eksepsi berarti tangkisan atau bantahan (objection) yang ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan, mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah sehingga tidak dapat diterima (inadmissible). Dengan demikian, keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale)[1].

    Dalam penyusunan dokumen jawab jinawab, terutama jawaban, para penangan perkara seringkali lebih fokus kepada pokok perkara. Hal tersebut memang tepat karena dalam pokok perkara, penangan perkara memiliki kesempatan untuk menjawab dan menjelaskan keseluruhan proses perbuatan hukum yang telah dilakukan. Akan tetapi, jika penangan perkara jeli dan mengenal bentuk-bentuk eksepsi, bukan tidak mungkin majelis hakim kemudian akan mengabulkan eksepsi tersebut pada putusan sela. Eksepsi dapat diajukan oleh Tergugat pada saat menjawab surat gugatan Penggugat pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan tingkat pertama (vide Pasal 121 ayat (2) HIR).  Berikut adalah jenis-jenis eksepsi yang dikenal dalam hukum acara perdata dan dapat digunakan oleh penangan perkara DJKN saat beracara di pengadilan :[2]

1.   Eksepsi formal / eksepsi prosesual (Processuele Exceptie), adalah eksepsi berdasarkan keabsahan formal suatu gugatan. Secara garis besar, eksepsi ini terbagi menjadi dua jenis, yakni :

a.   Eksepsi Kompetensi Absolut : eksepsi yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan untuk memeriksa perkara, apakah peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara. Sesuai dengan ketentuan hukum acara, majelis hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang bukan merupakan kewenangannya dan tidak tergantung kepada ada tidaknya eksepsi Tergugat.

Pada praktiknya, para majelis hakim di pengadilan negeri dan pengadilan agama cenderung lebih pasif dan meminta para pihak yang mengajukan eksepsi kompetensi absolut untuk mengajukan bukti awal sebelum menjatuhkan putusan sela. Sementara itu, majelis hakim pada PTUN lebih bersikap aktif terhadap gugatan yang masuk sehingga apabila suatu perkara ternyata bukan menjadi kewenangan PTUN maka perkara tersebut sudah gugur pada dismissal process sebelum memasuki persidangan.

b. Eksepsi Kompetensi Relatif : ​​​eksepsi yang berkaitan dengan yurisdiksi atau wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama dan diatur dalam Pasal 118 HIR. Berdasarkan ketentuan tersebut, cara menentukan kewenangan relafif Pengadilan Negeri berdasarkan asas-asas sebagai berikut :

·     Actor sequitur forum rei (forum domicile) : yang berwenang mengadili sengketa adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tergugat bertempat tinggal.

·     Actor sequitur forum rei dengan hak opsi : digunakan apabila Tergugat terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, undang-undang memberikan hak opsi kepada Penggugat untuk memilih Pengadilan Negeri mana yang dianggapnya paling menguntungkan.

·     Actor sequitur forum rei tanpa hak opsi : Apabila tergugat terdiri dari debitur (principal) dan penjamin, kompetensi relatif mutlak berpatokan pada tempat tinggal debitur, tidak dibenarkan diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin.

·     Tempat tinggal penggugat : Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui yang berwenang mengadili secara relatif adalah Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal penggugat.

·     Forum rei sitae : Jika objek sengketa terdiri dari benda tidak bergerak, sengketa jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri di tempat barang itu terletak.

·     Forum rei sitae dengan hak opsi : Jika objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, penggugat dibenarkan mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan Negeri tersebut.

·   Domisili pilihan : Para pihak boleh menyepakati salah satu Pengadilan Negeri yang diberi wewenang secara relatif untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka. Dalam hal demikian, terdapat dua kompetensi relatif yang dapat dimanfaatkan, yaitu: Dapat berdasarkan patokan actor sequitur forum rei, atau Dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang dipilih berdasarkan kesepakatan domisili pilihan.

2.   Eksepsi Formal / Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi : terdiri dari beberapa jenis, di antaranya :

a.   Eksepsi obscuur libel : eksepsi yang menyatakan gugatan penggugat kabur. Hal ini terjadi karena : a. Posita tidak jelas/kabur, sebab dasar hukum yang menjadi dasar gugatan tidak jelas/tidak ada atau salah satu dari dasar hukum yang dijadikan dasar gugatan tidak jelas. b. Objek sengketa di dalam gugatan tidak jelas. c. Penggabungan dua atau lebih gugatan yang masing-masing tidak ada kaitan atau pada hakekatnya berdiri sendiri-sendiri. d. Pertentangan antara posita dengan petitum.

b.   Eksepsi rei judicatie : eksepsi yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem). Nebis in idem terjadi apabila (i) Pokok perkara baru yang dituntut sama dengan pokok perkara lama yang sudah diputus, (ii) Alasan atau dasar yang didalam gugatan sama dengan perkara yang lama (iii) Diajukan oleh pihak-pihak yang sama terhadap pihak yang sama pula (iv) Hubungan hukum di antara para pihak sama dengan hukum para pihak pada perkara lama.

c.   Eksepsi declinatoir : eksepsi yang menyatakan gugatan merupakan perkara yang sama dan masih dalam proses di pengadilan serta belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

d.  Eksepsi diskualifikasi : eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat adalah orang yang tidak mempunyai kualitas/berhak untuk mengajukan gugatan.

e.   Eksepsi error in persona. : eksepsi yang menyatakan bahwa yang seharusnya digugat adalah orang lain bukan Tergugat

f.     Eksepsi plurium litis consortium : eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan kurang pihak.

g.   Eksepsi koneksitas: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang bersangkutan masih ada hubungan dengan perkara lain yang sedang ditangani oleh pengadilan/instansi lain dan belum ada putusan.

3.   Eksepsi Hukum Materil.

a.  Eksepsi dilatoir : eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan masih prematur, misalnya benar bahwa tergugat mempunyai utang kepada penggugat tetapi belum jatuh tempo.

b.   Eksepsi premptoir : eksepsi yang mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi mengemukakan tambahan yang prinsip sehingga gugatan tidak dapat diterima, misalnya dengan mengemukakan bahwa tergugat tidak pernah berutang kepada penggugat atau utang tersebut telah dibayar lunas oleh tergugat kepada penggugat.

Setelah memahami pemaparan mengenai berbagai jenis eksepsi di atas, perlu dipahami bahwa dalam Pasal 136 HIR, hakim diperintahkan untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, apabila penangan perkara cukup jeli untuk mencari celah untuk mengajukan eksepsi misalnya dengan memeriksa pasal-pasal di perjanjian kredit mengenai pemilihan penyelesaian sengketa atau dengan memeriksa lokasi objek perkara maka penangan perkara dapat mengajukan eksepsi prosesual baik absolut maupun relatif. Pada umumnya, majelis hakim akan meminta bukti awal bagi yang mendalilkan eksepsi tersebut pada jawaban maupun duplik. Apabila mampu dibuktikan, maka putusan sela akan dijatuhkan. Sebagai konsekuensi, jika putusan sela mengabulkan eksepsi maka dengan sendirinya pemeriksaan terhadap perkara tersebut berhenti dan perkara dinyatakan selesai melalui putusan sela.

Tuesday, October 4, 2022

Penggelapan yg sudah dijadikan surat perjanjian hutang



Penggelapan yg sudah dijadikan surat perjanjian hutang yuli yanti

selamat siang, saya ingin bertanya, saya ada kasus penggelapan perusahaan yg sudah dijadikan perjanjian hutang oleh perusahaan , yg menerangkan bahwa penggelapan telah dijadikan hutang, dan diselesaikan dalam jangka waktu selama 1 tahun dengan diangsur setiap bulannya. tapi pihak perusahaan mengharuskan untuk membayar angsuran yg ditentukan sendiri oleh perusahaan dan tidak ada di surat perjanjian. saya sudah mengangsur cicilan tersebut selama 6 Bulan sesuai yg ditentukan perusahan. pertanyaan saya, jika saya bayar angsuran tidak sesuai yg di tentuka perusahaan apa bisa saya dilaporkan atas penggelapan uang? apa kasus penggelapan yg sudah jadi perjanjian hutang bisa di laporkan tuduhan penggelapan? mohon bantuannya


Jawaban

Dijawab oleh Penyuluh Hukum Ahli Mugiyati, S.H., M.H. pertama sekali adalah ketika perjanjian atau penanda tanganan Surat Perjanjian (Akad) karena Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan. Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan perjanjian merupakan “undang-undang” bagi setiap pihak yang mengikatkan dirinya kepada perjanjian tersebut. Perlu diketahui juga bahwa perjanjian bersifat memaksa. Kata “memaksa” di sini berarti setiap orang yang mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian wajib menjalankan seluruh isi perjanjian. Mengenai perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang satunya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang (pemberi utang) atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan “prestasi”, yang menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang; 2. Melakukan suatu perbuatan; 3. Tidak melakukan suatu perbuatan. 1. Azas-azas Hukum Perjanjian Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu a. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. b. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan. b. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Penggelapan Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372, Pasal 374, dan Pasal 375 KUHPidana. Pasal 376 mengatur mengenai penggelapan antar keluarga yang berlaku sama dengan Pasal 367 KUHPidana (delik pencurian). Selanjutnya Pasal 377. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Pasal 372 KUHP yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900. (Soesilo, 1994: 258). Menurut Andi Hamzah (2010: 108), bagian inti delik atau tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHPidana adalah sebagai berikut: Pertama, Sengaja: Kedua, Melawan hukum; Ketiga, Memiliki suatu barang; Keempat, Yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain; Kelima, Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. kemudian Pasal 375 KUHPidana mengatur bagian inti sama dengan delik pokok (Pasal 372 KUHPidana) ditambah bagian inti delik dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau dilakukan oleh pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga atau yayasan terhadap barang yang dikuasainya selaku demikian. Berikutnya Pasal 376 KUHPidana menyatakan bahwa ketentuan tentang pencurian antarkeluarga (Pasal 367 KUHPidana) berlaku juga bagi delik penggelapan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia "Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Dapat diuraikan selanjutnya bahwa penggelapan dapat dikatakan perbuatan merusak kepercayaan orang lain dengan mengingkari janji tanpa perilaku yang baik. Dalam KUHP, Penggelapan dimuat dalam Buku II Bab XXIV yang oleh Van Haeringen mengartikan Istilah Penggelapan ini sebagai "geheel donkermaken" atau sebagai "uitstraling van lichtbeletten" yang artinya "membuat segalanya menjadi gelap" atau " menghalangi memancarnya sinar". Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan akan lebih tepat jika istilah Penggelapan diartikan sebagai "penyalah gunaan hak" atau "penyalah gunaan kekuasaan". Akan tetapi para sarjana ahli hukum lebih banyak menggunakan kata "Penggelapan". Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam Pasal 362. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan. Menurut KUHP tindak pidana penggelapan dibedakan atas lima macam, yaitu: Pertama, tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok; Kedua, tindak pidana penggelapan ringan; Ketiga, tindak pidana penggelapan dengan unsur-unsur yang memberatkan; Keempat, tindak pidana penggelapan oleh wali dan lain-lain; Kelima, tindak pidana penggelapan dalam keluarga. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHPidana ini terdiri dari unsur objektif dan subjektif: Unsur subjektif yakni Unsur kesengajaan; memuat pengertian mengetahui dan menghendaki. Berbeda dengan tindak pidana pencurian yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan atau 'opzettelijk' sebagai salah satu unsur tindak pidana pencurian. Rumusan Pasal 372 KUHPidana mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga dengan mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict atau delik sengaja. Sementara unsur objektif terdiri dari: Pertama, Barang siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak pidana pencurian, kata 'barang siapa' ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau 'dader'. Kedua, Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki); mentri kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda, menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya. Ketiga, Suatu benda; ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah- pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut 'benda bergerak'. Keempat, Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain. Kelima, Benda yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan; yaitu harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan. Penggelapan dalam rumusan KUHP adalah tindak kejahatan yang meliputi unsur-unsur: Dengan sengaja; Barang siapa; Mengambil; Suatu benda; Sebagian/seluruhnya kepunyaan orang lain; Menguasai benda tersebut dengan melawan hukum; dan Benda Yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan. Menurut Cleiren inti delik penggelapan ialah penyalahgunaan kepercayaan. Selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapakan itu. Batas klasik antara pencurian dan penggelapan ialah pencurian "mengambil" barang yang belum ada padanya, sedangkan pada penggelapan barang itu sudah ada di dalam kekuasaannya. Delik penggelapan adalah delik dengan berbuat atau delik komisi. Waktu dan tempat terjadinya penggelapan ialah waktu dan tempat dilaksanakannya kehendak yang sudah nyata (Andi Hamzah, (2010: 107). Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu, Kedua, benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian, Ketiga, benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukanmemiliki benda itu harus tanpa hak. Iktikad baik perjanjian. Terkait dengan kegagalan perjanjian dapat terjadi karena faktor internal para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap konsistensi perjanjian. Adapun beberapa faktor yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual meliputi: Pertama, wanprestasi (ingkar janji). Kedua, hardship (kesulitan, keadaan sulit). Ketiga, overmacht. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst) (lihat Pasal 1313 KUHPerdata). Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”): a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah: a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum; b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang; c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan) Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan: Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.” Oleh sebab itu, dari pertanyaan Saudara maka unsur yang harus dipenuhi apabila perkara perdata berupa wanprestasi dapat dilaporkan pidana apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Berikut adalah contoh kasus sebagai ilustrasi; A memberikan pinjaman dana kepada B, kemudian B akan melakukan pengembalian dana berikut bunganya dengan menerbitkan cek dengan tanggal yang telah disepakati antara A dan B. Apabila B menerbitkan cek yang disadari olehnya bahwa cek tersebut tidak akan pernah ada dananya, padahal dia telah menjanjikan kepada A bahwa cek tersebut ada dananya, maka perbuatan B dapat dikategorikan sebagai perbuatan penipuan dengan cara tipu muslihat. Hal demikian sebagaimana ditegaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973 tanggal 15-11-1975. Kecuali apabila B tahu cek tersebut memang ada dananya pada saat diterbitkan dan namun pada saat tanggal jatuh tempo dananya tidak ada maka perbuatan B baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi murni. Wanprestasi dapat terjadi apabila pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling: ingebereke stelling) dari para pihak pengutang dan pemberi utang. Pernyataan lalai ini bertujuan untuk menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian dialami kreditur/pemberi utang. Dalam perjalanan waktu hubungan perjanjian tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara para pihak. Sengketa pada umumnya muncul sebagai akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, ketidakseimbangan antara para pihak. Kondisi ini menempatkan asas itikad baik menjadi sangat penting dalam perjanjian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Itikad baik dalam hukum perjanjian mengacu pada tiga bentuk perlikau para pihak dalam perjanjian, yakni sebagai berikut: Pertama, Para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya; Kedua, Para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak; Ketiga, Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur walaupun kewajiban itu tidak secara tegas diperjanjikan Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian mengacu pada itikad baik yang objektif. Standar yang digunakan dalam itikad baik objektif adalah standar yang objektif mengacu pada suatu norma yang objektif pula (Subekti, 1984: 41). Perilaku para pihak dalam perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut.

Putusan Verstek Sebagai Konsekuensi Ketidakhadiran Tergugat di Persidangan

Oleh : Prilla Geonestri Ramlan   Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) merupakan salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Keuangan...