Wednesday, July 26, 2023

TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA

 


TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA


TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA
A. PENGERTIAN PANGGILAN (CONVODATION, CONVOCATIE)
Ø Dalam Arti Sempit
Perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan.
Ø Dalam Arti Luas
Menurut Hukum acara Perdata yaitu menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Menurut Pasal 388 HIR yaitu :
· panggilan sidang pertama kepada penggugat dan tergugat;
· panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
· panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal ini mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke persidangan);
· selain daripada itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukum pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain:
o pemberitahuan putusan PT dan MA,
o pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding,
o pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding , dan
o pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi.
Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.
Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan dari juru sita yang dianggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan.
B. TAHAP DAN TINDAKAN YANG MENDAHULUI PEMANGGILAN
Berdasarkan Pasal 118 ayat(1) dan Pasal 121 ayat (4), panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini:
1. Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan berdasarkan kompetensi relatif:
· dalam bentuk surat gugatan (in writing),
· ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, dan
· dialamatkan kepada ketua Pengadilan.
2. Pembayaran Biaya Perkara
Pasal 121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara disebut juga panjar perkara dan merupakan syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi.
Konsekuensi atas pasal ini, yaitu:
· gugatan tidak didaftar dalam buku register perkara,
· perkara atas gugatan itu, dianggap tidak ada (never existed), dan
· gugatan tidak bisa di proses dalam persidangan pengadilan.
a. Yang Dimaksud Biaya Perkara
Yaitu biaya yang harus dibayar oleh penggugat atau biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada Pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan. Misalnya, biaya pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggap penting baik atas permintaan salah satu pihak ataupun atas pertimbangan majelis sesuai dengan kewenangan ex-officio yang dimilikinya.
Biaya sementara beda dengan biaya akhir yang meliputi biaya yang timbul dalam semua tingkat peradilan. Prinsipnya biaya akhir dibebankan kepada pihak yang kalah perkara, sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR. Apabila penggugat berada di pihak yang kalah, dengan sendirinya panjar itu diperhitungkan menjadi biaya yang dipikulkan kepadanya. Apabila kurang, ia harus menambahnya, dan apabila panjar itu lebih, sisanya dikembalikan kepadanya.
b. Patokan Menentukan Panjar Biaya
Pasal 121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen:
1) Biaya kantor kepaniteraan dan biaya materai;
2) Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah;
3) Biaya pemeriksaan setempat;
4) Biaya juru sita melakukan pemanggilan dan pemberitahuan;
5) Biaya eksekusi.
Taksiran yang paling penting diperhitungkan adalah biaya pemanggilan dan pemberitahuan sehubungan dengan besarnya biaya transportasi juru sita ke tempat penggugat dan tergugat. Semakin jauh tempat mereka, semakin besar biaya panggilan dan pemberitahuan yang ditetapkan. Sewajarnya, biaya transportasi yang ditaksir, bukan kendaraan yang paling mahal dan yang khusus tetapi biaya transportasi yang berlaku bagi masyarakat umum.
c. Dimungkinkan Berperkara Tanpa Biaya (Prodeo)
Bab ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin berperkara tanpa biaya (prodeo atau kosteloos atau free of charge).
1) Syarat Berperkara Tanpa Biaya
Pasal 237 HIR menegaskan, bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk berperkara tanpa biaya. Titik tolak memberi kemungkinan berperkara tanpa biaya, berdasarkan alasan kemanusiaan (humanity) dan keadilan umum (general justice). Memberi hak dan kesempatan (opportunity) kepada yang tidak mampu untuk tampil membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya di depan sidang pengadilan secara cuma-cuma (free of charge. Akibat hukum atas pemberian izin beperkara secara cuma-cuma, kepada yang bersangkutan:
· tidak ditarik biaya administrasi, dan
· tidak ditarik biaya upah juru sita.
2) Cara Mengajukan Permintaan Izin
a) Pengajuan Oleh Penggugat
Menurut Pasal 238 ayat (1) HIR, jika yang mengajukan permintaan izin adalah penggugat:
· diajukan pada saat menyampaikan surat gugatan.
Permintaan dapat langsung dimasukkan dalam surat gugatan atau dalam surat tersendiri;
· dapat juga diajukan dengan lisan berdasarkan Pasal 120 HIR.
b) Pengajuan izin oleh tergugat
Pasal 238 ayat (2) HIR, yang menyatakan permintaan izin diajukan tergugat pada saat mengajukan jawaban. Ketentuan pasal ini yaitu memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan permintaan izin beperkara tanpa biaya selama tahap proses jawab-menjawab berlangsung. Tidak mesti diajukan pada jawaban pertama, tetapi dapat juga diajukan pada duplik atau jawaban kedua (rejoinder).
3) Syarat Permintaan
Pasal 238 ayat (3) HIR , mengatur syarat permintaan izin.
· Disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala polisi setempat.
Ketentuan pasal ini pada saat sekarang, tidak tepat. Yang tepat, dari pemerintah setempat. Bisa camat atau cukup kepala desa.
· Isi surat keterangan
Berisi penjelasan bahwa berdasarkan pemeriksaan atau penelitian, pemohon benar-benar orang tidak mampu.
4) Proses Pemberian Izin
Pasal 239 ayat (1) HIR, mengatur proses pemberian izin beperkara tanpa biaya.
· Permintaan izin diperiksa pada sidang pertama, sebelum majelis memeriksa perkaranya sendiri.
· Diperiksa dan diputus lebih dahulu apakah permintaan izin dikabulkan atau ditolak sebelum perkara diperiksa.
· Pihak lawan dapat mengajukan perlawanan terhadap permintaan, berdasarkan alasan:
– permintaan tidak beralasan,
– pemohon adalah orang yang mampu.
5) Putusan Izin Prodeo, Tidak Bisa Dibanding
Menurut Pasal 291 HIR, putusan izin beperkara tanpa biaya yang dijatuhkan Pengadilan, merupakan:
· putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusan tersebut bersifat final, dan
· terhadap putusan tertutup upaya banding.
3. Registrasi
Pasal 121 ayat (4) HIR menegaskan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, baru dapat dilakukan setelah penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya perkara yang ditetapkan panggilan dibayar, penggugat berhak atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib mendaftarkan dalam buku register perkara.
a. Pemberian Nomor Perkara
Panitera memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam buku register perkara.
b. Panitera Menyerahkan Perkara kepada Ketua Pengadilan
Segera setelah panitera memberi nomor, perkara diserahkan atau dilimpahkan kepada ketua Pengadilan.
· Penyerahan harus dilakukan secepat mungkin
Panitera tidak boleh memperlambat penyerahan. Hal itu melanggar asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) No.14 Tahun 1970 (diubah dengan UU No.4 Tahun 2004. Atau memperlambat pelimpahan perkara oleh panitera kepada Ketua Pengadilan tidak sesuai dengan prinsip justice delayed, justice denied (peradilan yang lambat, mengingkari keadilan).
· Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, MA menggariskan pelimpahan perkara dari panitera kepada Ketua Pengadilan dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal registrasi.
4. Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan
Apabila ketua berhalangan, penetapan majelis dilakukan wakil ketua.
· Jangka waktu penetapan, secepat mungkin.
· Jangka waktu yang digariskan MA paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.
a. Penyerahan kepada Majelis
· harus dilakukan segera,
· MA menggariskan, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal surat penetapan majelis.
b. Majelis Paling Sedikit 3 Orang
Pasal 15 UU No.14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999) dan sekarang digariskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 yang menentukan:
· semua pengadilan memeriksa dan memutus perkara, sekurang-kurangnya 3(tiga) orang hakim kecuali apabila undang-undang menentukan lain,
· seorang bertindak sebagai Ketua majelis hakim (presiding judge), dan yang lain sebagai anggota.
Namun dalam angka 9 penjelasan umum UU No.14 Tahun 1970, dimungkinkan hakim tunggal, berdasarkan faktor keadaan setempat, karena :
· di daerah terpencil,
· tenaga hakim kurang, dan
· biaya transportasi mahal.
Akan tetapi, alasan ini pada saat sekarang selain tidak disebut dalam UU No.4 Tahun 2004 (sebagai pengganti UU No.14 Tahun 1970) juga tidak sesuai lagi Tentang hakim sudah cukup memadai di seluruh daerah, serta semua wilayah sudah terjangkau oleh prasarana lalu lintas yang dibutuhkan.
5. Penetapan Hari Sidang
Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara. Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
· menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas perkara;
· menurut penggarisan MA, paling lambat 7 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan penetapan hari sidang;
· berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau dilampirkan dalam berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari berkas perkara yang bersangkutan.
C. TAHAP PEMANGGILAN
Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.
1. Majelis Memerintahkan Pemanggilan
Dalam penetapan hari sidang, diikuti pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk memanggil kedua belah pihak (penggugat atau tergugat), supaya hadir di depan persidangan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.
2. Yang Melaksanakan Pemanggilan
Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:
· dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
· jika orang yang hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi relative yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut,
Yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif Pengadilan tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat:
· pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
· atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat juru sita yag tidak berwenang (unauthorized bailiff).
Pasal 39 UU No.6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi Pengadilan. Fungsi utamanya, membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.
3. Bentuk Panggilan
Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk:
· surat tertulis (in writing), misalnya telegram dan surat tercatat,
· lazim disebut surat panggilan atau relas panggilan maupun berita acara panggilan, dan
· panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya.
Pasal 27 PP No.9 Tahun 1975, mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass media:
· Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan dilakukan melalui pengumuman di salah satu atau beberapa surat kabar atau mass media.
· Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali.
· Tenggang waktu antara pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.
Pasal 27 PP ini, dimaksudkan untuk pemanggilan para pihak dalam perkara perceraian saja, ketentuan ini dapat diterapkan secara analogis dalam perkara perdata lainnya.
4. Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat
Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv, menjelaskan surat panggilan pertama berisi:
· nama yang dipanggil,
· hari dan jam serta tempat sidang,
· membawa saksi-saksi yang diperlukan,
· membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
· penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya, mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah.
Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk:
· melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan, dan
· salinan tersebut, dianggap gugatan asli.
5. Cara Panggilan yang Sah
Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv Tentang tata cara pemanggilan menurut hukum:
a. Tempat Tinggal Tergugat Diketahui
Tata cara pemanggilan yang sah, ialah:
1. Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili atau tempat domisili pilihan tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv).
2. Disampaikan kepada yang bersangkutan, diperluas oleh Pasal 3 Rv meliputi keluarganya.
3. Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman.
b. Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui
Pasal 390 ayat (3) HIR( tata cara pemanggilan yang sah yang disebut dengan pemanggilan umum atau pemberitahuan umum / general convocation ) dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tentang tata cara penyampaian panggilan kepada tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Adapun tata caranya, yaitu:
1. Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada bupati atau wali kota, sesuai dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
2. Bupati atau wali kota tersebut:
· mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu;
· caranya, dengan jalan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan Pengadilan yang bersangkutan.
Agar cara pemanggilan bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu Pengadilan memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:
· selain penempelan di pintu ruang sidang,
· pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum Pengadilan yang
bersangkutan.
6. Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri
Pasal 6 ke-8 diatur tentang pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara :
· panggilan disampaikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya.
· selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
· mengirimkan turunannya kepada pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
a. Tempat Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui
· Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik
· Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu), kedutaan, atau konsultat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU.
b. Tempat TinggalnyaTidak Diketahui
Tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, Yaitu disampaikan melalui panggilan umum.
7. Pemanggilan terhadap yang Meninggal
Menurut Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, yaitu :
a. Apabila Ahli Waris Dikenal
· Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu per satu. Dalam hal ini cukup disebut nama dan tempat tinggal pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.
b. Apabila Ahli Waris Tidak Dikenal
· Panggilan disampaikan kepada kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum.
· Selanjutnya, kepala desa segera menyampaikan panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum.
· Jika kepala desa tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada juru sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan kepala desa itu, juru sita dapat menempuh tata cara melalui panggilan umum.
8. Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang
Pasal 122 HIR dan Pasal 10 Rv, mengatur jarak waktu antara panggilan dengan hari sidang.
a. Patokan Menentukan Jarak Waktu, Berdasarkan Faktor Jarak Antara Tempat tinggal Tergugat dengan Gedung Tempat Sidang Dilangsungkan.
1. 8 (delapan) hari, apabila jarak tempat tinggal tergugat dengan gedung Pengadilan (tempat sidang) tidak jauh,
2. 14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan
3. 20 (dua puluh) hari, jika jaraknya jauh.
b. Jarak Waktu Panggilan dalam Keadaan Mendesak
Menurut Pasal 122 HIR, adapun aturannya,yaitu:
· jarak waktunya dapat dipersingkat,
· batas mempersingkat tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari.
c. Jarak Waktu Pemanggilan Orang yang Berada di Luar Negeri
· Prinsipnya, didasarkan pada perkiraan yang wajar,
· Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Jarak Negara tempat tinggal tergugat dengan Indonesia pada satu segi serta jarak tempat tinggal tergugat dengan Konsulat Jenderal RI, dan
2. Faktor birokrasi yang harus ditempuh dalam penyampaian panggilan.
d. Penentuan Jarak Waktu, Apabila Tergugat Terdiri atas Beberapa Orang
Pasal 14 Rv, tidak boleh berpatokan kepada tempat tinggal tergugat yang paling dekat. Namun, harus didasarkan kepada tempat tinggal tergugat yang paling jauh.
9. Pendelegasian Pemanggilan
Yaitu tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada Pengadilan yang lain. Dalam Rv Pasal 5 diatur, yaitu:
· Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum juru sita.
· Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita Pengadilan yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil.
· Ketua Pengadilan bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal tergugat, untuk memerintahkan juru sita Pengadilan tersebut menyampaikan
panggilan.
· Ketua Pengadilan yang diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada juru sita berdasarkan permintaan bantuan dimaksud.
· Segera setelah itu, menyampaikan langsung kepada Ketua Pengadilan yang melimpahkan, tentang pelaksanaan panggilan yang dilakukan.
10. Larangan Melakukan Pemanggilan
· Panggilan atau pemberitahuan tidak boleh disampaikan, sebelum jam 6 pagi.
· Tidak boleh disampaikan, sesudah jam 6 sore, dan
· Tidak boleh disampaikan, hari Minggu.
Pengecualian terhadap larangan ini, hanya dapat dilakukan apabila:
– ada izin dari Ketua Pengadilan,
– izin diberikan atas permintaan penggugat,
– izin diberikan dalam keadaan mendesak, dan
– izin dicantumkan pada kepala surat panggilan/pemberitahuan..
11. Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Asas Lex Fori
Asas Lex Fori yaitu prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutusperkara.
Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat “karena cara mengajukan perkara dan cara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat bersifat acara maka dari ituharus tunduk pula kepada peraturan hukum dari Negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR.”
12. Otentikasi Surat Panggilan
a. Ditandatangani oleh Juru Sita
b. Berisi Keterangan yang Ditulis Tangan Juru Sita yang Menjelaskan Panggilan Telah Disampaikan Di Tempat Tinggal Yang Bersangkutan Secara In Person Atau Kepada Keluarga Atau Kepada Kepala Desa.
13. Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum
Menurut Pasal 21 Rv:
· Jika surat panggilan dinyatakan batal;
· Hal itu terjadi disebabkan perbuatan juru sita: Dilakukan dengan sengaja (intentional) dan karena kelalaian (omission).
· Dalam hal itu, juru sita dapat dihukum:
– Untuk mengganti biaya panggilan dan acara biaya yang batal;
– Untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan atas kebatalan itu berdasarkan PMH (perbuatan melawan hokum yang digariskan Pasal 1365 KUH Perdata).

No comments:

Post a Comment

Putusan Verstek Sebagai Konsekuensi Ketidakhadiran Tergugat di Persidangan

Oleh : Prilla Geonestri Ramlan   Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) merupakan salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Keuangan...