Monday, August 22, 2022

Perdata Tunda Pidana atau Pidana Tunda Perdata? Sumber: Perdata Tunda Pidana atau Pidana Tunda Perdata? | KlikLegal


Dalam beberapa perkara pidana yang sedang berjalan, ternyata ada perkara perdata juga yang sedang berjalan. Mana yang seharusnya diperiksa dan diputus lebih dulu? Apa yang menjadi penentuannya? Dalam suatu persoalan hukum, tidak jarang adanya perkara perdata dan pidana yang diajukan secara bersama. Sering kali terjadi adanya tindak pidana penipuan dalam sengketa hutang piutang.  

Dalam perkara lain, saat ada dugaan pencurian, ternyata benda yang dicuri menjadi objek sengketa kepemilikan pada persidangan perdata. Tentunya menjadi pertanyaan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu? Apakah perkara pidana ataukah perdata yang harus diselesaikan terlebih dahulu? Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah sengketa antara Kementerian Lingkungan Hidup melawan PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) tahun 2005. Sengketa ini berawal adanya dugaan pencemaran di Teluk Buyat yang dilakukan PT NMR. Kasus pencemaran ini berujung pada digugatnya PT NMR oleh kepolisian karena adanya dugaan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup, selain itu Kementerian Lingkungan Hidup juga melakukan gugatan ganti rugi secara perdata terhadap pencemaran yang dilakukan oleh PT NMR. Di kasus lainnya, terjadi sengketa jual beli tanah hingga mengakibatkan penggelapan dalam sengketa antara Henry Jocosity Gunawan melawan Notaris Caroline di Pengadilan Negeri Surabaya. 

Kasus ini berawal dari transaksi jual-beli tanah dan bangunan yang dilakukan Henry dengan klien Caroline. Setelah dilakukannya pembayaran, Henry tidak kunjung memberikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah disepakati. Lebih lanjut, Henry justru menjual kembali SHGB tersebut ke orang lain dengan harga yang lebih tinggi. Sengketa tersebut dilaporkan oleh Notaris Caroline dengan sengketa perdata jual beli namun pihak kejaksaan melakukan penahanan dan penetapan tersangka terhadap Henry atas kasus dugaan penipuan dan penggelapan. Hingga akhirnya perkara tersebut diputus pidana oleh hakim karena terbukti melakukan terdakwa melakukan penggelapan dan penipuan. Seringkali yang menjadi persoalan ketika suatu putusan pidana dijatuhkan, ternyata setelah vonis tersebut masalah keperdataan, misalnya terkait objek kepemilikan justru dimenangkan oleh orang yang sudah divonis tersebut.  Jika konteksnya adalah perkara pencurian, maka akan menjadi aneh ketika, orang yang diputus melakukan pencurian ternyata dalam perkara perdata dinyatakan sebagai pemilik dari objek yang disengketakan. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan putusan pidana batal atau tidak berlaku. 

Dan jelas jadi merugikan orang yang memiliki benda tersebut, namun dihukum karena mencuri benda miliknya sendiri. Berangkat dari sengketa yang terjadi di tengah masyarakat tersebut, lantas perkara mana yang seharusnya diputus telebih dahulu? Perkara Perdata Didahulukan Pada dasarnya sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perkara yang harus didahulukan apabila terjadinya sengketa perdata dan pidana secara bersamaan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU NO.1/1950) pada Pasal 131 disebutkan bahwa: “Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan.” Didasari hal tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956). 

Disebutkan dalam Pasal 1 Perma No.1/1956 bahwa: “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.” Sehingga seharusnya sudah menjadi jelas bahwa dalam terjadinya perkara perdata dan pidana, dapat dilakukan pemutusan terlebih dahulu perkara perdata sebelum memutus perkara pidana.  C Djisman Samosir, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, dalam kesempatannya sebagai ahli dalam sidang praperadilan sengketa Henry Jocosity Gunawan (2017) menyampaikan pendapatnya bahwa perkara pidana seharusnya ditunda terlebih dahulu prosesnya, hingga gugatan perdata yang diperiksa memiliki putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Mahkamah Agung (MA) pun pernah menjatuhkan putusan untuk melakukan penundaan perkara pidana dengan terlebih dahulu menunggu penyelesaian perdata.  Sebagaimana tertuang dalam Putusan MA No. 628 K/Pid/1984, dimana dalam putusan tersebut MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan memerintahkan untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap mengenai status kejelasan kepemilikan tanah (perdata). Hal ini dikarenakan, apabila status keperdataan belum memiliki kejelasan, maka perkara pidana tidak dapat dilanjutkan.  

Prejudiciel Geschil Melihat lebih lanjut dari perkara perdata atau pidana yang didahulukan dengan adanya Prejudiciel Geschil. Dalam sistem pengadilan Indonesia mengenal adanya istilah prejudicel geschil. Menurut Kamus istilah hukum Fockema Andrea, prejudiciel geschil adalah sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakangnya. 

Ketentuan akan prejudicial geschil ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1980 (SEMA No.4/1980). Dalam SEMA No.4/1980 menyebutkan 2 (dua) ketentuan dari prejudicial geschil yaitu: Question prejudicielle a I’ action: mengenai perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP yang antara lain Pasal 284 KUHP. Dimana dalam kasus tersebut diputus terlebih dahulu ketentuan perdata sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana. Question prejudicielle au jugement: menyangkut permasalahan dalam Pasal 81 KUHP. Dimana pasal tersebut hanya sekedar memberi kewenangan bukan kewajiban kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya. Sudah sepatutnya dengan adanya prejudiciel geschil tersebut menjadikan pertimbangan hakim dimana sebaiknya memutus suatu perkara pidana dan perdata yang disengketakan secara bersama. Kasus perdata sudah seharusnya untuk didahulukan daripada pidana. 

Tentunya hal tersebut dapat bermanfaat apabila terjadinya suatu tuntutan pidana, dan disisi lain adanya sengketa kepemilikan suatu hal dengan pihak dan benda yang sama pada perkara pidana. Seperti halnya yang terjadi pada kasus Riki Irawan yang didakwa melakukan pencurian pipa besi yang diakui milik dari Pertamina Prabumulih. Pada akhirnya Riki divonis bersalah dengan putusan PN Kayuagung Nomor 159/Pid.B/2015/PN Kag. Sedangkan disaat bersamaan H.Ahmad mengajukan gugatan kepada Pertamina Prabumulih dengan nomor gugatan Nomor 3/Pdt.G/2015/PNBM bahwa kepemilikan pipa besi tersebut bukanlah milik Pertamina Prabumulih tetapi milih H. Ahmad dan Riki Irawan. 

Gugatan yang diajukan oleh H. Ahmad tersebut berhasil dimenangkannya. Hal tersebut menjadi pertanyaan keadilan putusan hakim dimana suatu kepemilikan benda masih disengketakan akan tetapi Riki sudah divonis bersalah melakukan pencurian. Dalam pertimbangannya Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung menyatakan bahwa Hakim tidak terikat dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956) sehingga Riki divonis 1 tahun penjara. Lebih lanjut Perma No.1/1956 menyebutkan antara lain dalam Pasal 1 dan Pasal 3 bahwa: 

Pasal 1: Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu. 

Pasal 3: Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi. Dengan adanya Perma No.1/1956 memunculkan adanya konsekuensi hukum yang bisa memberi kewenangan pada Hakim untuk menunda persidangan pidana ataupun tidak. Tentunya suatu persoalan yang diajukan bersamaan secara perdata dan pidana, lebih baik untuk menunda perkara pidana dan menunggu putusnya perkara perdata, sehingga dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat. 

Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan Hakim untuk melanjutkan proses persidangan pidana walaupun adanya sengketa perdata secara bersamaan kasus yang sama.  Selain itu, ada beberapa ketentuan maupun situasional yang dapat mengakibatkan perkara pidana yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie atau biasa disebut Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia menyebutkan: Pasal 29: “Selama dalam proses penuntutan pidana, ditundalah tuntutan perdata mengenai ganti-rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh Undang-Undang” Pasal 30: “Tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau ditunda dengan mengingat adanya gugatan perdata, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang.” Apabila didasari oleh hal tersebut, tentunya perkara pidana yang seharusnya lebih didahulukan daripada perkara perdata. Karena ganti rugi tidak dapat dimintakan jika perbuatan melawan hukum pidana belum terbukti. Karena ganti rugi dala konteks ini berkaitan dengan kerugian akibat perbuatan pidana yang dilakukan.  Dalam perkara tertentu penyelesaian perkara pidana juga wajib didahulukan daripada perkara perdata ataupun perkara lainnya. Salah satunya dalam kejahatan tindak pidana korupsi. 

Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyebutkan pada Pasal 25 bahwa: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.” Sehingga dalam perkara tertentu yang sudah diatur oleh undang-undang perkara pidana dapat didahulukan daripada perkara lain yang diajukan secara bersamaan. Perma No.1/1956 sudah jelas mengatur bahwa perkara pidana yang perlu adanya putusan perdata akan suatu kepemilikan ataupun hubungan hukum antar pihak dapat dilakukan penundaan akan persidangan pidananya. Akan tetapi, Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan pada hakim untuk menilai perlu adanya penundaan atau tidak. Sehingga jelas, mengenai perkara perdata atau pidana yang harus diputus terlebih dahulu menjadi kewenangan Hakim untuk sepenuhnya menilai hal tersebut. Namun setidaknya, benang merah dari keduanya adalah relasi, apakah kerugian perdata yang timbul akibat perbuatan pidana. Atau, perbuatan pidana baru dapat dibuktikan jika tidak ada sengketa keperdataan soal kepemilikan suatu benda. 

source : https://kliklegal.com/perdata-tunda-pidana-atau-pidana-tunda-perdata/


No comments:

Post a Comment

Putusan Verstek Sebagai Konsekuensi Ketidakhadiran Tergugat di Persidangan

Oleh : Prilla Geonestri Ramlan   Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) merupakan salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Keuangan...