Mahkamah Partai Politik bukan termasuk sebagai badan peradilan seperti yang tercantum dalam Konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Ilham Hermawan selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang uji materiil terhadap Undang-Undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) pada Kamis (17/9), di Ruang Sidang MK. Dalam sidang perkara yang terdaftar dengan nomor 78/PUU-XIII/2015 tersebut, Pemohon menguji ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol dan Pasal 2 angka 5 UU PTUN yang dinilai membuka peluang putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan, diujikan ke Pengadilan Negeri.
Menurut Ilham, tuntutan untuk mengakui bahwa Mahkamah Partai merupakan badan peradilan, hendaknya perlu memperhatikan kembali substansi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Menurutnya, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya yakni lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, telah secara limitatif membatasi ruang lingkup badan peradilan.
“Ketentuan konstitusional tersebut telah memberikan batasan secara limitatif terhadap ruang lingkup badan peradilan. Pencantuman nama badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung menyebabkan tidak membenarkan keberadaan peradilan lain selain 4 lingkup tersebut,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Terhadap pasal yang diujikan, Ilham menyatakan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol mempunyai makna, tidak ada upaya apa pun yang dapat ditempuh terhadap putusan perselisihan kepengurusan partai. “Makna Pasal 33 ayat (1) secara jelas dipahami tidak termasuk perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan partai. Tidak ada upaya apa pun yang dapat ditempuh terhadap putusan perselisihan kepengurusan partai. Jadi pasal tersebut secara normatif tidak mengakibatkan hilangnya esensi kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urai Ilham.
Ia juga mengungkapkan, permasalahan yang terjadi sebenarnya terletak pada penerapan atau pelaksanaan norma. Seharusnya, Pengadilan Negeri tidak dapat menerima Putusan Mahkamah Partai yang pokok persoalannya tentang kepengurusan partai politik. Keputusan Pengadilan Negeri menerima perkara tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum. “Putusan Pengadilan Negeri ini menjadi potensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Perbuatan inilah yang menjadi kesalahan berpikir yang semakin menunjukkan wajah buram peradilan negeri ini. Bahkan wajah buram ini semakin tampak dengan adanya perbedaan penafsiran antara Pengadilan Negeri,” tuturnya.
Pandangan serupa juga diungkapkan ahli Pemerintah lainnya, Maruarar Siahaan. Menurutnya, apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon bukan mengenai konstitusionalitas norma, melainkan penerapan norma. “Sesungguhnya argumen yang secara panjang-lebar dikemukakan Pemohon, menurut pendapat saya tidak terlalu menunjukkan dengan tegas persoalan inkonstitusionalitas dalam norma-norma yang diajukan untuk diuji, meskipun harus diakui bahwa kadar kejelasan rumusan atau clarity (norma, red) masih dapat diperbaiki,” paparnya.
Maruarar kemudian menyampaikan pendapatnya terkait norma yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol. “Sesungguhnya Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 telah mengecualikan putusan Mahkamah Partai tentang sengketa internal kepengurusan partai politik yang tidak dapat dibawa ke pengadilan negeri, dan keraguan itu muncul karena adanya frasa dalam hal penyelesaian perselisihan tidak tercapai, yang sesungguhnya telah diuraikan,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, permohonan ini diajukan oleh Gusti Iskandar yang bermaksud mengajukan diri sebagai calon Gubernur Kalimantan Selatan periode 2015-2020. Namun, pengajuan pendaftaran Gusti Iskandar sebagai calon Gubernur tersebut ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Pemohon, penolakan itu dilatarbelakangi berlarut-larutnya konflik Partai Golkar yang disebabkan adanya Pasal 33 ayat (1) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai Pemohon membuka peluang putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan, diujikan ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, Pemohon juga menganggap Pasal 2 angka 5 UU PTUN tidak tegas dalam memberikan makna bahwa ‘badan peradilan’ juga termasuk ‘Mahkamah Partai’ atau sebutan lain yang memiliki putusan bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan. (Lulu Anjarsari/IR)
source :https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12052
No comments:
Post a Comment