Monday, August 14, 2023

Putusan Verstek Sebagai Konsekuensi Ketidakhadiran Tergugat di Persidangan





Oleh : Prilla Geonestri Ramlan

 

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) merupakan salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki tugas dan fungsi yang majemuk, beberapa diantaranya adalah merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang, lelang dan bahkan turut memberikan pelayanan penilaian dan pengelolaan investasi pemerintah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbicara mengenai pelaksanaan pengurusan piutang negara dan lelang, tidak jarang terjadi benturan antara kantor pelayanan dan pemangku kepentingan yang berasal dari rasa ketidakpuasan para pemangku kepentingan itu sendiri. Ketidakpuasan tersebut biasanya dituangkan dalam bentuk pengaduan, kritik, dan gugatan perdata.

Gugatan perdata ini ditujukan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) oleh penggugat atas ketidakpuasan layanan yang diterimanya, umumnya gugatan perdata yang mendominasi di KPKNL adalah gugatan pelaksanaan lelang. Untuk tugas dan fungsi yang menangani setelah gugatan diterima oleh KPKNL, Seksi Hukum dan Informasi-lah yang nantinya akan melaksanakan proses beracara di pengadilan. Dalam berperkara tentunya kita mengharapkan hasil akhir berupa kemenangan di pengadilan. Adapun kunci sukesnya kemenangan berperkara tersebut dapat diwujudkan melalui pemenuhan panggilan menghadiri sidang secara patuh, pembuatan jawaban yang tepat hingga penyajian bukti-bukti yang lengkap.

Berkaca dari kemajemukan tugas dan fungsi DJKN, tugas berperkara di pengadilan yang dilaksanakan oleh KPKNL harus pula mendapat perhatian lebih. Mengingat tingginya beban kerja, sangat memungkinkan kurangnya perhatian terhadap pemanggilan sidang atau bahkan terjadinya kelalaian dalam penyampaian panggilan sidang tersebut. Tidak tersampainya panggilan sidang dengan baik yang dapat menyebabkan ketidakhadiran tergugat dapat menjadi titik rawan dalam berperkara, karena secara aturan ketidakhadiran tergugat setelah dipanggil secara patut dapat menyebabkan majelis hakim menjatuhkan putusan verstek yang merugikan tergugat. Lalu, apa itu Putusan Verstek?

Verstek atau putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa sebagai akibat ketidakhadiran Tergugat atas alasan yang tidak sah sehingga dianggap Tergugat mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan Penggugat. Dalam Pasal 125 HIR dijelaskan bahwa:

Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tidak hadirnya tergugat (verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan Negeri bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”

Sebelum diputus secara verstek, tergugat akan dipanggil sekali lagi untuk menghadiri sidang selanjutnya, seperti yang dijelaskan juga dalam Pasal 126 HIR bahwa:

Di dalam hal yang tersebut pada pasal di atas, Pengadilan Negeri sebelum dapat mejatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil yang kedua kalinya untuk datang menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh Ketua di dalam persidangan kepada pihak yang datang bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan.”

Berdasarkan Pasal 125 HIR dan 126 HIR sebagaimana disampaikan di atas, untuk mengabulkan putusan verstek haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.    Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut : Dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah pemanggilan para pihak secara resmi dan patut. Dalam arti sempit, Pemanggilan artinya sebuah perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Sedangkan dalam arti luas, Pemanggilan menurut hukum acara perdata adalah menyampaikan secara resmi dan patut kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan Majelis Hakim atau Pengadilan. Adapun pemanggilan secara resmi dan sah dimaksud ialah panggilan yang dilakukan oleh Juru Sita Pengadilan atau Juru Sita Pengganti yang sah.

2.   Tergugat tidak hadir dalam persidangan dan tidak mewakilkan kepada kuasanya tanpa alasan yang sah : Tergugat yang telah dipanggil dengan patut tetapi ia atau kuasanya tidak juga datang menghadap ke Pengadilan, maka perkaranya akan diputus secara verstek, dimana Penggugat dianggap menang dan tergugat dianggap kalah. Tidak hadir disini berarti dianggap mengakui dalil gugatan, oleh karenanya gugatan dikabulkan tanpa pemeriksaan pembuktian, kecuali apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum atau bertentangan dengan undang-undang, kepatutan, dan ketertiban umum.

3.     Gugatan penggugat berdasarkan hukum dan beralasan : Maksud gugatan berdasarkan hukum dan beralasan ialah gugatan yang didukung oleh dalil atau peristiwa yang benar dan tidak melawan hak orang lain. Gugatan tersebut juga harus berlandaskan hukum, baik dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau kekuatan hukum lain yang dibenarkan. Apabila tidak memenuhi ketentuan ini, maka gugatan tidak dapat diterima atau ditolak.

4.    Tergugat tidak melakukan eksepsi atau tangkisan : Eksepsi atau tangkisan adalah bantahan dari Tergugat yang diajukan ke Pengadilan dengan tujuan agar Pengadilan tidak menerima perkara yang diajukan oleh penggugat karena adanya alasan tertentu.

Lalu, bagaimana jika ternyata Tergugat terdiri dari lebih dari satu orang dan salah satu dari Tergugat tersebut tetap tidak hadir? Apakah Majelis Hakim dapat langsung menjatuhkan putusan verstek tanpa melakukan pemanggilan ulang? Menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat mengacu pada ketentuan Pasal 127 HIR yang menyatakan:

“Jika seseorang atau lebih dari Tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari persidangan lain, yang paling dekat. Hal mengundurkan itu diberitahukan pada waktu persidangan kepada pihak yang hadir, bagi mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan, sedang Tergugat yang tidak datang, disuruh panggil oleh Ketua sekali lagi menghadap hari persidangan yang lain. Ketika itu perkara diperiksa, dan kemudain diputuskan bagi sekalian pihak dalam suatu keputusan, atas mana tidak diperkenankan perlawanan (Verzet)”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila Tergugat lebih dari satu orang dan salah satu dari Terguat tersebut tidak hadir, maka Hakim wajib mengundur sidang dan memerintahkan sekali lagi untuk memanggil Tergugat yang bersangkutan. Atau dalam arti lain, Hakim dilarang memeriksa para Tergugat lain yang hadir serta tidak diperkenankan menjatuhkan putusan verstek kepada Tergugat yang tidak hadir pada pemanggilan pertama. Namun jika pada pemanggilan kedua Tergugat tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka hakim dapat melangsungkan proses pemeriksaan terhadap para Tergugat yang hadir dengan Penggugat, atau istilah lainnya ialah pemeriksaan secara kontradiktor. Oleh karena itu, tergugat yang tidak hadir akan kehilangan haknya untuk membantah dalil Penggugat meskipun pemeriksaan terhadapnya tetap berlaku.

-Seksi Hukum dan Informasi-

Wednesday, July 26, 2023

TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA

 


TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA


TATA CARA PANGGILAN DAN PROSES YANG MENDAHULUINYA
A. PENGERTIAN PANGGILAN (CONVODATION, CONVOCATIE)
Ø Dalam Arti Sempit
Perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan.
Ø Dalam Arti Luas
Menurut Hukum acara Perdata yaitu menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Menurut Pasal 388 HIR yaitu :
· panggilan sidang pertama kepada penggugat dan tergugat;
· panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
· panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal ini mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke persidangan);
· selain daripada itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukum pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain:
o pemberitahuan putusan PT dan MA,
o pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding,
o pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding , dan
o pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi.
Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.
Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan dari juru sita yang dianggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan.
B. TAHAP DAN TINDAKAN YANG MENDAHULUI PEMANGGILAN
Berdasarkan Pasal 118 ayat(1) dan Pasal 121 ayat (4), panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini:
1. Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan berdasarkan kompetensi relatif:
· dalam bentuk surat gugatan (in writing),
· ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, dan
· dialamatkan kepada ketua Pengadilan.
2. Pembayaran Biaya Perkara
Pasal 121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara disebut juga panjar perkara dan merupakan syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi.
Konsekuensi atas pasal ini, yaitu:
· gugatan tidak didaftar dalam buku register perkara,
· perkara atas gugatan itu, dianggap tidak ada (never existed), dan
· gugatan tidak bisa di proses dalam persidangan pengadilan.
a. Yang Dimaksud Biaya Perkara
Yaitu biaya yang harus dibayar oleh penggugat atau biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada Pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan. Misalnya, biaya pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggap penting baik atas permintaan salah satu pihak ataupun atas pertimbangan majelis sesuai dengan kewenangan ex-officio yang dimilikinya.
Biaya sementara beda dengan biaya akhir yang meliputi biaya yang timbul dalam semua tingkat peradilan. Prinsipnya biaya akhir dibebankan kepada pihak yang kalah perkara, sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR. Apabila penggugat berada di pihak yang kalah, dengan sendirinya panjar itu diperhitungkan menjadi biaya yang dipikulkan kepadanya. Apabila kurang, ia harus menambahnya, dan apabila panjar itu lebih, sisanya dikembalikan kepadanya.
b. Patokan Menentukan Panjar Biaya
Pasal 121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen:
1) Biaya kantor kepaniteraan dan biaya materai;
2) Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah;
3) Biaya pemeriksaan setempat;
4) Biaya juru sita melakukan pemanggilan dan pemberitahuan;
5) Biaya eksekusi.
Taksiran yang paling penting diperhitungkan adalah biaya pemanggilan dan pemberitahuan sehubungan dengan besarnya biaya transportasi juru sita ke tempat penggugat dan tergugat. Semakin jauh tempat mereka, semakin besar biaya panggilan dan pemberitahuan yang ditetapkan. Sewajarnya, biaya transportasi yang ditaksir, bukan kendaraan yang paling mahal dan yang khusus tetapi biaya transportasi yang berlaku bagi masyarakat umum.
c. Dimungkinkan Berperkara Tanpa Biaya (Prodeo)
Bab ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin berperkara tanpa biaya (prodeo atau kosteloos atau free of charge).
1) Syarat Berperkara Tanpa Biaya
Pasal 237 HIR menegaskan, bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk berperkara tanpa biaya. Titik tolak memberi kemungkinan berperkara tanpa biaya, berdasarkan alasan kemanusiaan (humanity) dan keadilan umum (general justice). Memberi hak dan kesempatan (opportunity) kepada yang tidak mampu untuk tampil membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya di depan sidang pengadilan secara cuma-cuma (free of charge. Akibat hukum atas pemberian izin beperkara secara cuma-cuma, kepada yang bersangkutan:
· tidak ditarik biaya administrasi, dan
· tidak ditarik biaya upah juru sita.
2) Cara Mengajukan Permintaan Izin
a) Pengajuan Oleh Penggugat
Menurut Pasal 238 ayat (1) HIR, jika yang mengajukan permintaan izin adalah penggugat:
· diajukan pada saat menyampaikan surat gugatan.
Permintaan dapat langsung dimasukkan dalam surat gugatan atau dalam surat tersendiri;
· dapat juga diajukan dengan lisan berdasarkan Pasal 120 HIR.
b) Pengajuan izin oleh tergugat
Pasal 238 ayat (2) HIR, yang menyatakan permintaan izin diajukan tergugat pada saat mengajukan jawaban. Ketentuan pasal ini yaitu memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan permintaan izin beperkara tanpa biaya selama tahap proses jawab-menjawab berlangsung. Tidak mesti diajukan pada jawaban pertama, tetapi dapat juga diajukan pada duplik atau jawaban kedua (rejoinder).
3) Syarat Permintaan
Pasal 238 ayat (3) HIR , mengatur syarat permintaan izin.
· Disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala polisi setempat.
Ketentuan pasal ini pada saat sekarang, tidak tepat. Yang tepat, dari pemerintah setempat. Bisa camat atau cukup kepala desa.
· Isi surat keterangan
Berisi penjelasan bahwa berdasarkan pemeriksaan atau penelitian, pemohon benar-benar orang tidak mampu.
4) Proses Pemberian Izin
Pasal 239 ayat (1) HIR, mengatur proses pemberian izin beperkara tanpa biaya.
· Permintaan izin diperiksa pada sidang pertama, sebelum majelis memeriksa perkaranya sendiri.
· Diperiksa dan diputus lebih dahulu apakah permintaan izin dikabulkan atau ditolak sebelum perkara diperiksa.
· Pihak lawan dapat mengajukan perlawanan terhadap permintaan, berdasarkan alasan:
– permintaan tidak beralasan,
– pemohon adalah orang yang mampu.
5) Putusan Izin Prodeo, Tidak Bisa Dibanding
Menurut Pasal 291 HIR, putusan izin beperkara tanpa biaya yang dijatuhkan Pengadilan, merupakan:
· putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusan tersebut bersifat final, dan
· terhadap putusan tertutup upaya banding.
3. Registrasi
Pasal 121 ayat (4) HIR menegaskan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, baru dapat dilakukan setelah penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya perkara yang ditetapkan panggilan dibayar, penggugat berhak atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib mendaftarkan dalam buku register perkara.
a. Pemberian Nomor Perkara
Panitera memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam buku register perkara.
b. Panitera Menyerahkan Perkara kepada Ketua Pengadilan
Segera setelah panitera memberi nomor, perkara diserahkan atau dilimpahkan kepada ketua Pengadilan.
· Penyerahan harus dilakukan secepat mungkin
Panitera tidak boleh memperlambat penyerahan. Hal itu melanggar asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) No.14 Tahun 1970 (diubah dengan UU No.4 Tahun 2004. Atau memperlambat pelimpahan perkara oleh panitera kepada Ketua Pengadilan tidak sesuai dengan prinsip justice delayed, justice denied (peradilan yang lambat, mengingkari keadilan).
· Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, MA menggariskan pelimpahan perkara dari panitera kepada Ketua Pengadilan dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal registrasi.
4. Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan
Apabila ketua berhalangan, penetapan majelis dilakukan wakil ketua.
· Jangka waktu penetapan, secepat mungkin.
· Jangka waktu yang digariskan MA paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.
a. Penyerahan kepada Majelis
· harus dilakukan segera,
· MA menggariskan, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal surat penetapan majelis.
b. Majelis Paling Sedikit 3 Orang
Pasal 15 UU No.14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999) dan sekarang digariskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 yang menentukan:
· semua pengadilan memeriksa dan memutus perkara, sekurang-kurangnya 3(tiga) orang hakim kecuali apabila undang-undang menentukan lain,
· seorang bertindak sebagai Ketua majelis hakim (presiding judge), dan yang lain sebagai anggota.
Namun dalam angka 9 penjelasan umum UU No.14 Tahun 1970, dimungkinkan hakim tunggal, berdasarkan faktor keadaan setempat, karena :
· di daerah terpencil,
· tenaga hakim kurang, dan
· biaya transportasi mahal.
Akan tetapi, alasan ini pada saat sekarang selain tidak disebut dalam UU No.4 Tahun 2004 (sebagai pengganti UU No.14 Tahun 1970) juga tidak sesuai lagi Tentang hakim sudah cukup memadai di seluruh daerah, serta semua wilayah sudah terjangkau oleh prasarana lalu lintas yang dibutuhkan.
5. Penetapan Hari Sidang
Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara. Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
· menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas perkara;
· menurut penggarisan MA, paling lambat 7 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan penetapan hari sidang;
· berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau dilampirkan dalam berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari berkas perkara yang bersangkutan.
C. TAHAP PEMANGGILAN
Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.
1. Majelis Memerintahkan Pemanggilan
Dalam penetapan hari sidang, diikuti pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk memanggil kedua belah pihak (penggugat atau tergugat), supaya hadir di depan persidangan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.
2. Yang Melaksanakan Pemanggilan
Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:
· dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
· jika orang yang hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi relative yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut,
Yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif Pengadilan tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat:
· pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
· atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat juru sita yag tidak berwenang (unauthorized bailiff).
Pasal 39 UU No.6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi Pengadilan. Fungsi utamanya, membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.
3. Bentuk Panggilan
Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk:
· surat tertulis (in writing), misalnya telegram dan surat tercatat,
· lazim disebut surat panggilan atau relas panggilan maupun berita acara panggilan, dan
· panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya.
Pasal 27 PP No.9 Tahun 1975, mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass media:
· Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan dilakukan melalui pengumuman di salah satu atau beberapa surat kabar atau mass media.
· Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali.
· Tenggang waktu antara pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.
Pasal 27 PP ini, dimaksudkan untuk pemanggilan para pihak dalam perkara perceraian saja, ketentuan ini dapat diterapkan secara analogis dalam perkara perdata lainnya.
4. Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat
Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv, menjelaskan surat panggilan pertama berisi:
· nama yang dipanggil,
· hari dan jam serta tempat sidang,
· membawa saksi-saksi yang diperlukan,
· membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
· penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya, mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah.
Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk:
· melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan, dan
· salinan tersebut, dianggap gugatan asli.
5. Cara Panggilan yang Sah
Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv Tentang tata cara pemanggilan menurut hukum:
a. Tempat Tinggal Tergugat Diketahui
Tata cara pemanggilan yang sah, ialah:
1. Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili atau tempat domisili pilihan tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv).
2. Disampaikan kepada yang bersangkutan, diperluas oleh Pasal 3 Rv meliputi keluarganya.
3. Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman.
b. Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui
Pasal 390 ayat (3) HIR( tata cara pemanggilan yang sah yang disebut dengan pemanggilan umum atau pemberitahuan umum / general convocation ) dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tentang tata cara penyampaian panggilan kepada tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Adapun tata caranya, yaitu:
1. Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada bupati atau wali kota, sesuai dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
2. Bupati atau wali kota tersebut:
· mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu;
· caranya, dengan jalan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan Pengadilan yang bersangkutan.
Agar cara pemanggilan bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu Pengadilan memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:
· selain penempelan di pintu ruang sidang,
· pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum Pengadilan yang
bersangkutan.
6. Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri
Pasal 6 ke-8 diatur tentang pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara :
· panggilan disampaikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya.
· selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
· mengirimkan turunannya kepada pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
a. Tempat Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui
· Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik
· Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu), kedutaan, atau konsultat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU.
b. Tempat TinggalnyaTidak Diketahui
Tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, Yaitu disampaikan melalui panggilan umum.
7. Pemanggilan terhadap yang Meninggal
Menurut Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, yaitu :
a. Apabila Ahli Waris Dikenal
· Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu per satu. Dalam hal ini cukup disebut nama dan tempat tinggal pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.
b. Apabila Ahli Waris Tidak Dikenal
· Panggilan disampaikan kepada kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum.
· Selanjutnya, kepala desa segera menyampaikan panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum.
· Jika kepala desa tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada juru sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan kepala desa itu, juru sita dapat menempuh tata cara melalui panggilan umum.
8. Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang
Pasal 122 HIR dan Pasal 10 Rv, mengatur jarak waktu antara panggilan dengan hari sidang.
a. Patokan Menentukan Jarak Waktu, Berdasarkan Faktor Jarak Antara Tempat tinggal Tergugat dengan Gedung Tempat Sidang Dilangsungkan.
1. 8 (delapan) hari, apabila jarak tempat tinggal tergugat dengan gedung Pengadilan (tempat sidang) tidak jauh,
2. 14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan
3. 20 (dua puluh) hari, jika jaraknya jauh.
b. Jarak Waktu Panggilan dalam Keadaan Mendesak
Menurut Pasal 122 HIR, adapun aturannya,yaitu:
· jarak waktunya dapat dipersingkat,
· batas mempersingkat tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari.
c. Jarak Waktu Pemanggilan Orang yang Berada di Luar Negeri
· Prinsipnya, didasarkan pada perkiraan yang wajar,
· Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Jarak Negara tempat tinggal tergugat dengan Indonesia pada satu segi serta jarak tempat tinggal tergugat dengan Konsulat Jenderal RI, dan
2. Faktor birokrasi yang harus ditempuh dalam penyampaian panggilan.
d. Penentuan Jarak Waktu, Apabila Tergugat Terdiri atas Beberapa Orang
Pasal 14 Rv, tidak boleh berpatokan kepada tempat tinggal tergugat yang paling dekat. Namun, harus didasarkan kepada tempat tinggal tergugat yang paling jauh.
9. Pendelegasian Pemanggilan
Yaitu tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada Pengadilan yang lain. Dalam Rv Pasal 5 diatur, yaitu:
· Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum juru sita.
· Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita Pengadilan yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil.
· Ketua Pengadilan bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal tergugat, untuk memerintahkan juru sita Pengadilan tersebut menyampaikan
panggilan.
· Ketua Pengadilan yang diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada juru sita berdasarkan permintaan bantuan dimaksud.
· Segera setelah itu, menyampaikan langsung kepada Ketua Pengadilan yang melimpahkan, tentang pelaksanaan panggilan yang dilakukan.
10. Larangan Melakukan Pemanggilan
· Panggilan atau pemberitahuan tidak boleh disampaikan, sebelum jam 6 pagi.
· Tidak boleh disampaikan, sesudah jam 6 sore, dan
· Tidak boleh disampaikan, hari Minggu.
Pengecualian terhadap larangan ini, hanya dapat dilakukan apabila:
– ada izin dari Ketua Pengadilan,
– izin diberikan atas permintaan penggugat,
– izin diberikan dalam keadaan mendesak, dan
– izin dicantumkan pada kepala surat panggilan/pemberitahuan..
11. Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Asas Lex Fori
Asas Lex Fori yaitu prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutusperkara.
Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat “karena cara mengajukan perkara dan cara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat bersifat acara maka dari ituharus tunduk pula kepada peraturan hukum dari Negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR.”
12. Otentikasi Surat Panggilan
a. Ditandatangani oleh Juru Sita
b. Berisi Keterangan yang Ditulis Tangan Juru Sita yang Menjelaskan Panggilan Telah Disampaikan Di Tempat Tinggal Yang Bersangkutan Secara In Person Atau Kepada Keluarga Atau Kepada Kepala Desa.
13. Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum
Menurut Pasal 21 Rv:
· Jika surat panggilan dinyatakan batal;
· Hal itu terjadi disebabkan perbuatan juru sita: Dilakukan dengan sengaja (intentional) dan karena kelalaian (omission).
· Dalam hal itu, juru sita dapat dihukum:
– Untuk mengganti biaya panggilan dan acara biaya yang batal;
– Untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan atas kebatalan itu berdasarkan PMH (perbuatan melawan hokum yang digariskan Pasal 1365 KUH Perdata).

Tuesday, February 7, 2023

Upaya Hukum Terhadap Putusan Non-Executable


Berbicara tentang berperkara di pengadilan, sudah pasti tujuan akhirnya adalah dapat menguasai objek sengketa. Hal yang lazim dilakukan setelah perkara sudah mendapat kekuatan hukum tetap (in kracht) adalah melakukan upaya eksekusi atas objek sengketa. Proses eksekusi terhadap putusan in kracht bisa dilakukan dengan cara paksa condemantoir atau secara sukarela, sebagaimana diatur dalam Pasal 195 HIR: “Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu.

Namun bukanlah perkara mudah ketika objek sengketa yang telah in kracht tidak dapat di eksekusi (non-executable), mengingat eksekusi atas putusan in kracht dapat dijalankan secara condemantoir, yang dapat dilakukan secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum. Hal ini tentunya juga bertentangan dengan asas peradilan, yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Terlebih dalam perkata perdata, sudah pasti harus ada kepastian hukum atas objek sengketa, dan jalan yang ditempuh untuk memenuhi prestasi. Lalu apa yang menyebabkan putusan tidak selalu dapat dieksekusi (non-executable)?

Aturan mengenai putusan non-executable tertuang dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2008. Terdapat 5 (lima) hal yang menyebabkan putusan non-executable, diantaranya:

a. Putusan yang bersifat deklaratoir (putusan yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi) dan konstitutif (putusan yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan);

b. Barang yang akan diekskusi tidak berada di tangan Tergugat / Termohon Ekseskusi;

c. Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang disebutkan di dalam amar putusan;

d. Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan;

e. Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menyatakan suatu putusan non-executable, sebelum seluruh proses/acara eksekusi dilaksanakan,kecuali yang tersebut pada butir a

M Yahya Harahap, dalam bukunya Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, menyebutkan kondisi yang membuat putusan tidak dapat di eksekusi, antara lain:

- Harta kekayaan tereksekusi tidak ada;

- Putusan bersifat deklaratoir;

- Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga;

- Barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga;

- Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya;

- Perubahan status tanah menjadi milik negara;

- Barang objek eksekusi berada di luar negeri;

- Dua putusan yang saling berbeda;

- Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama.


Dari hal ini kita melihat terdapat banyak faktor yang menyebabkan tidak dapat dikuasainya objek sengketa, yang berarti pemenuhan atas prestasi juga terhambat. Lantas, adakah upaya yang dapat ditempuh ketika objek sengketa tidak dapat dikuasai sebagai akibat dari putusan non-executable?

Pada saat eksekusi ditetapkan oleh Hakim dalam suatu penetapan menjadi non-executable, maka eksekusi berhenti setelah penetapan non-executable tersebut. Namun demikian, Pemohon Eksekusi akibat permohonan yang dinyatakan non-executable dapat mengajukan upaya hukum atas perkara tersebut atau dapat mengajukan gugatan kembali. Menurut pendapat Yahya Harahap, para pihak yang berperkara dibenarkan mengajukan gugatan baru meskipun bersinggungan dengan asas nebis in idem yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi karena suatu peristiwa atau suatu perbuatan yang baginya telah diputus hakim atau baginya telah diberikan status berdasarkan suatu putusan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila gugatan mengandung salah satu cacat formil yang dalam kasus ini gugatan dari penggugat tidak jelas batas atau luas tanah yang itu termasuk dalam gugatan obscuur libel atau cacat. Maka putusan tersebut tidak mengandung nebis in idem, tidak memiliki daya kepastian hukum, karena belum menyentuh pokok perkara.

Untuk itu, sebelum mengajukan gugatan sangat perlu memastikan keberadaan dan status dari objek sengketa, karena bagaimanapun juga, penguasaan objek sengketa dapat dilaksanakan apabila putusan benar-benar dapat dieksekusi (executable), baik secara sukarela maupun condemantoir.

(Penulis Grace Teguh Kinanti, Editor : Iva Nurdianah Azizah)

BERPOLITIKLAH


Oleh : Mohammad Chifni

Uraian kerja sudah ditetapkan, tugas dan fungsi sudah ditentukan dan kontrak kinerja (performance) sudah ditandatangani sebagai hal yang harus dicapai oleh pegawai dalam pekerjaannya menurut kreteria tertentu. Hal ini diukur melalui indikator kualitas dan kuantitas. Artinya di tataran normatif klasik, sebagai “aturan” tidak ada lagi ruang yang memungkinkan dan mengatur tawar menawar. Apalagi sudah dijabarkan vertical differentiation atau pembedaan tanggungjawab dan wewenang antara atasan dan bawahan. Lalu masih perlukah energi berpolitik saat kita bekerja.

Pilihannya adalah, abaikan fenomena politik kantor maka lambat laun kecemasan dan depresi akan menghajar, semangat kerja menurun, talenta diri tersia-siakan atau mainkan dengan elegan dan cerdas sehingga kita akan jauh lebih tenang, tidak mudah terbawa arus dan mampu meminimalisir conflict of interest. Dengan membekali fatsoen birokrasi dan menjaga jarak dari sebuah adagium politik “ bahwa tidak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi", tulisan ini dirangkai dengan penuh kehati-hatian untuk sekaligus menjawab dan menawarkan solusi akan fenomena “politik kantor” atau politicking ( rekayasa kepentingan ) di kantor .

Sengaja tidak butuh suatu kajian kasus untuk memaparkan masalah ini, walaupun menurut Knoke dan Kuklinski yang dikutip Zuhal dalam bukunya Knowledge & Innovation, 2010 - bahwa sebuah fenomena seperti ini dapat didekati melalui pemahaman jejaring yang melingkupinya, Pertama manusia sebagai aktornya senantiasa melakukan partisipasi dalam sistem sosial manapun, satu aktor dengan aktor lain terjadi pertautan referensi dalam proses pembuatan keputusan . Secara alamiah hubungan yang ada memberi efek pada persepsi, keyakinan dan aksi-aksi aktor. Kedua, terdapat perbedaan derajat struktural sistem sosial yang pada gilirannya terjadi aturan dan pola hubungan diantara entitas. Namun dalam konteks ini, biarlah terjadi pembiaran agar tetap di ruang tabu – dari sudut aturan, sosial dan birokrasi - tanpa terbawa melanggarnya terlalu dalam sekaligus anda bisa mengabaikannya sebagai pilihan moral serta juga bisa berperan untuk suatu kebutuhan anda.

KEPERCAYAAN RADIKAL

Max weber dalam teori birokrasinya hanya memperhatikan variabel-variabel formal saja sedangkan variabel informal pendalaman aspeknya jauh dari cukup dalam membahas organisasi birokrasi. Bukan bermaksud untuk menyepelekan variabel formal, melainkan betapa enggannya orang kebanyakan dalam mencermati sisi informal sebuah organisasi. Politicking atau politik kantor tidak bisa diabaikan dari sisi informal dari keberlangsungan organisasi birokrasi, bahkan dia merupakan fitur tertentu bagi perilaku organisasi dan individu untuk membagi kekuasaan dalam suatu organisasi atau lingkungan kerja yang dipengaruhi oleh relasi pribadi antara orang yang bekerja. Tidak ada konsep operatif yang ideal dengan tahapan yang tepat dan akurat. Dia intuitif bahkan role model nya pun berubah dan bergeser tidak hanya oleh waktu dan tujuan kolektif tapi juga oleh mind orang-orang disekitarnya. Tidak ada code of conduct, ada yang samar-samar, ada yang secara vulgar memerankanya, yang punya jaringan kekuasaan berusaha dia buktikan dengan eksitensinya, yang punya aktiva intelektual berlebih berusaha meng-akbar-kan capaian kerjanya dalam rangka pencitraan bahkan ada yang merasa dekat pimpinan sehingga berhak menahan informasi kunci dari pengambil keputusan bahkan tindakannya juga merasa berhak mewakili.

Atas nama prestasi berebut simpati ke atasan merupakan menu sertaan bagi tiap tugas yang ia kerjakan, mengembangkan manajemen yang bergenre disorder tanpa ada kesediaan menerima sekaligus mengelola perbedaan, dalam suasana kerja demikian jangan berharap muncul pertemenan lengkap dengan etos hospitalitas dan etika imperatifnya, seperti kejujuran, kesetiakawaanan, empatik dan akhlakul karimah. Malah nyaris yang terdengar adalah upaya pengabadikan relasi sengketa, bikin panggung kontestasi perseteruan permanen. Yang ada dari sisa persengkongkolan itu adalah bukan hujjah melainkan hujatan bukan dalil melainkan dalih dan bukan argumentasi melainkan serba transaksi.

Dalam menyikapi rivalitas tidak jarang kata sekutu dan seteru jadi rancu. Dikotomi angkatan, kelompok bahkan kesukuan sengaja diambangkan pada pusaran opini kantor. Pada tataran inilah karyawan sering digiring ekskulsivisme politik kantor, menafikan semangat kebersamaan dan sinergi yang melingkupi atmosfir kedinasan dan kehidupan keseharian. Energi ini punya ciri polos, naif dan innocent tapi ruang hati dipenuhi keserakahan inginnya, dan ada juga yang berparas arif serta bijak tapi alam pikirnya penuh keculasan dan logika back stabb sembari mengaku sebagai teman sejati.

Pengabaian terhadap nilai kebersamaan dan sinergi ini bisa menghambat kinerja aktual kantor. Karena itu unsur akomodatif yang dimiliki seorang pemimpin secara inklusif dalam ranah hubungan kedinasan sekaligus sosial menjadi hal yang wajib bagi suksesnya tujuan kelembagaan. Sebuah kepercayaan dibutuhkan dalam kaitan ini. Kepercayaan adalah dasar dari segala bentuk pengaruh selain paksaan, kesediaan mereka untuk menerima pengaruh anda, akan tergantung sebagian besar pada kualitas yang mereka lihat di diri anda, dari sisi kompetensi (tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya ) dan karakter (motif Anda baik dan Anda ingin orang-orang untuk melakukannya dengan baik).

Pada tahapan ini kepercayaan kepada anda lebih peduli tentang Anda daripada tentang isu-isu politik kantor yang dipertaruhkan. Dengan Kepercayaan- yang kami sebut – radikal ini, seorang pemimpin dengan integritas dan tujuan yang baik, dapat melibatkan diri guna menciptakan kondisi bagi keberhasilan organisasi sekaligus meredam kompetisi yang tidak sehat dan meminimalkan persepsi tentang prilaku mementingkan diri sendiri. Bukankah figur seorang pemimpin adalah konstruksi sosial dari kelompok yang dipimpinnya.

MEMOTRET PELANGI

Tidak ada pemenang dan pecundang yang ada hanya dialektika, itu berpikir positifnya. Setiap orang memang memiliki tujuan berkarier. Ada yang berupa pencapaian posisi tinggi, mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik, membangun prestasi dan nama baik, dan lainnya. Apa pun tujuan karier Anda, dan bagaimana mencapai tujuan tersebut adalah pilihan bijak yang bisa anda lakukan, jangan buang energi berlebih untuk mencari orang yang tepat, menjadilah orang yang tepat di semua ruang dan waktu karena sebaik apapun dirimu pasti tetap ada yang akan membencimu bahkan memusuhimu.

Adalah keniscayaan bagi lingkungan kantor dan heterogenitasnya memuat entitas individu dengan nilai, tujuan dan kepentingan yang beragam sehingga kondisi ini memunculkan potensi konflik dan persaingan tentang alokasi kesempatan maka segeralah menjemput momentum, persiapkan kemampuan diri dan proaktif dengan kesempatan yang ada, dan jadilah yang terdepan dalam meraihnya. Meramalkan respon orang lain sebelum kita bertindak punya tingkat kesulitan yang sama dengan meramalkan respon yang terjadi terhadap apa yang sudah kita lakukan. Karena itu tidak gampang membahagiakan semua orang, apalagi di lingkungan kerja, dimana ruang terbuka bagi interpretasi yang beragam atas apa yang dimaksud kinerja yang memuaskan atau peningkatan hasil yang optimal sering terjadi. Pertajam intuisi untuk merangkul dan mengelola perbedaan persepsi dan menjadikannya sebagai daya ungkit untuk meraih prestasi, tetapkan standar etika dan moral lalu biarkan energi kreatif anda surfing ke tempat tempat yang dapat menghargai kapasitas dan kapabilitas anda, jaga jarak dari pujian dan cepatlah netralisir hujatan, bangunlah personal branding yang berkarakter dan berintegritas serta tidak perlu bermain dua kaki untuk mengumbar ambisi.

Ego, harga diri dan gengsi Anda tidaklah lebih daripada identitas yang telah anda ciptakan untuk diri anda sendiri, maka lelahkan ego, harga diri dan gengsi Anda lalu tebarkan energi positif pada atmosfir ruang kerja dengan kejujuran sehingga suasana berkarya akan terkayakan dengan bahagia dan gembira, dalam kaitan ini Alex Pentland pernah menulis sebuah artikel dengan judul We Can Measure the Power of Charisma dalam sebuah jurnal manajemen Harvard Business Review. 2010 dia mengatakan Humans use many types of signals, but honest signals are unusual in that they cause changes in the receiver of the signal. If we’re spending time together, and I’m happy and bubbly, you’ll be more happy and bubbly. There are biological functions that transfer the signals. If I’m happy, it almost literally rubs off on you. Bahwa sinyal jujur yang tersampaikan lewat fungsi biologis yang kita punya kepada orang lain itu dapat menjadikan si penerima senang dan ceria, dan akan lebih bahagia dan ceria lagi kalau kita menyampaikannya dengan bahagia.

Saya tidak punya kapasitas untuk membenarkan apalagi meragukan Alex Pentland, tentunya dia lebih dulu melakukan riset berulang untuk bisa menyimpulkan itu, namun dalam bingkai kejujuran saya ingin mengajak anda untuk reflektif pada diri bahwa kejujuran tidak hanya mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin namun juga membuat semuanya tampak indah dan menyenangkan.

Dengan spirit yang sama saya ingin sampaikan bahwa lingkungan kerja adalah sebuah mekanisme umpan balik biologis yang memberitahukan siapa diri anda melalui kreasi dan cara tanggap anda terhadap lingkungan kerja, kalau Anda menginginkan lingkungan kerja ada suasana bahagia dan ceria atas kehadiran Anda maka tebarkanlah kejujuran, kalau anda ingin sebaliknya yang terjadi, itu adalah pilahan bijak anda.

Meminjam diksi memotret pelangi dari Gede Prama, Memotret pelangi cukup punya makna kalau bukan dengan format hitam putih, tanpa menggambarkannya pun kita sudah bisa menyampaikan pesan tentang keindahan dan beragamnya warna yang mengitarinya. Pengandaian ini sekaligus ajakan bagaimana sebuah keputusan itu ada pada masing masing pribadi untuk memaknai sekaligus meresponnya dan menyikapi pilihan hidup, apakah kita akan kabur terhadap peluang atau akan menemukan indahnya pelangi kesempatan dimana kita beraktifitas dan bekerja. Pesan moral yang ingin saya tebar sekaligus penutup dalam tulisan ini adalah, bahwa manusia adalah tindakanya. Perbuatan manusialah yang mengubah diri dan lingkungan hidupnya, bukan kata dan pikiranya, maka lebih baik tahu sedikit mengenai apa yang baik dan tidak baik, tetapi anda jalankan pada setiap kegiatan. Dan tulisan sederhana ini bisa jadi bekal, menjalankan politik di kantor atau menolaknya sebagai suatu hal yang tidak baik.

Monday, January 9, 2023

Panggilan Sidang Secara Patut Dalam Hukum Acara Perdata

 


Arief Nugroho *) Ajeng Hanifa Zahra Caesar Aprilia **)

*)Sie Bantuan Hukum II Dit.Hukum Humas **)OJT di Kantor Pusat DJKN

Dalam perkara perdata, semua hal-hal yang berkaitan dengan hukum acara telah diatur dalam Hukum Acara Perdata (R.Bg/HIR). Mulai dari gugatan, panggilan, sampai dengan pemberitahuaan (relaas) putusan. Ada juga peraturan-peraturan lain yang melengkapi hukum acara tersebut, diantaranya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Terkait hukum acara, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang seolah menjadi hukum tidak tertulis, dan apabila tidak diluruskan akan merugikan pihak-pihak yang berperkara. Kebiasaan tersebut di antaranya pemanggilan para pihak untuk sidang pertama. Banyak penangan perkara yang beranggapan bahwa panggilan sidang secara patut adalah 3 (tiga) kali. Sebelum tiga kali panggilan, para pihak (dalam hal ini biasanya tergugat) memilih untuk tidak hadir terlebih dahulu, dengan keyakinan masih ada panggilan kedua dan ketiga yang akan disampaikan.

Dalam berbagai kesempatan baik pada saat Diklat Beracara di Pengadilan maupun acara informal lainnya, penulis beberapa kali mendapat pertanyaan dari peserta diklat/para penangan perkara yang apabila hal tersebut ditanyakan kepada badan peradilan, jawabannya berbeda-beda. Pertanyaan yang diajukan yaitu apakah pemanggilan untuk menghadiri persidangan harus (wajib) disampaikan sebanyak tiga kali? Bagaimana jika salah satu pihak tidak hadir dalam pemanggilan pertama? Apakah yang dimaksud dengan panggilan secara patut? Apakah konsekuensinya apabila kita selaku tergugat/penggugat tidak hadir dalam persidangan pertama? Apakah dasar hukumnya?

Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, terdapat ketentuan-ketentuan dan pendapat ahli yang mengatur tata cara pemanggilan bagi para pihak. Ketentuan-ketentuan dan pendapat ahli yang mendasari pemanggilan para pihak adalah sebagai berikut:

· Pasal 148 R.Bg./124 HIR
Dalam sidang pertama Penggugat yang tidak hadir dalam sidang, sedangkan Tergugat hadir dalam sidang, Dalam keadaan yang demikian Hakim dapat menjatuhkan putusan dengan menyatakan Gugatan Peggugat Gugur dan menghukum Penggugat membayar biaya perkara;

· Pasal 149 ayat (1) R.Bg./125 ayat (1) HIR
Dalam sidang pertama Tergugat yang tidak hadir dalam sidang, sedangkan Penggugat hadir dalam sidang, Dalam keadaan yang demikian Hakim dapat menjatuhkan putusan dengan menyatakan Gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan verstek (tanpa hadirnya Tergugat);

· Pasal 150 R.Bg./126 HIR
Dalam kejadian sebagaimana dalam sidang pertama apakah Penggugat atau Tergugat yang tidak hadir Hakim dapat memerintahkan untuk memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir agar datang menghadap pada hari yang ditentukan dalam sidang itu;

· Pasal 151 R.Bg./127 HIR
Kemungkinan yang ke-empat apabila Tergugat ada seorang atau lebih yang tidak hadir menghadap dalam sidang maka pemeriksaan perkara ditunda sampai suatu hari yang ditetapkan sedekat mungkin. Penundaan itu di dalam sidang diberitahukan kepada pihak-pihak yang hadir dan pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan, sedangkan Tergugat-tergugat yang tidak hadir diperintahkan agar dipanggil lagi. Kemudian perkara diperiksa dan terhadap semua pihak diberikan keputusan dalam satu surat putusan yang terhadapnya tidak dapat diadakan perlawanan;

· Pasal 186 ayat (3) R.Bg./159 ayat (3) HIR
Jika di antara pihak-pihak yang hadir pada hari pertama ada yang kemudian tidak hadir pada hari sidang berikutnya, yang kemudian ditunda lagi, maka Ketua memerintahkan agar pihak itu dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya;

· SEMA Nomor 9 Tahun 1964
Karena ada beberapa tafsiran mengenai putusan verstek, maka Mahkamah Agung memberi pendapatnya sebagai berikut :
Menurut pasal 125 H.I.R. apabila tergugat, meskipun telah dipanggil secara sah, akan tetapi tidak hadir, maka Hakim dapa
t
1. Menjatuhkan putusan verstek atau;
2. Menunda pemeriksaan –(berdasarkan pasal 126 H.I.R.) – dengan perintah memanggil tergugat sekali lagi
3. Kemudian apabila dalam hal sub 2 tergugat tidak dapat lagi, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.

· M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata” mengatakan:
“..., berdasarkan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan audi alteram partem (dengarkan sisi lain), jika Tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan sidang pertama maka kurang layak langsung menghukumnya dengan putusan verstek. Oleh karena itu, hakim yang bijaksana, tidak gegabah secara emosional langsung menerapkan acara verstek, tetapi memberi kesempatan lagi kepada Tergugat untuk hadir di persidangan dengan jalan mengundurkan pemeriksaan.”


Pengertian pemanggilan sidang yang sah dan patut

Di dalam buku Hukum Acara Perdata, M. Yahya Harahap, S.H. mengatakan bahwa:

“Pengertian panggilan dalam hukum acara perdata adalah menyampaikan secara resmi (officiaicial) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan”.

Menurut 390 ayat (1), (2) dan (3) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita dalam pasal berbunyi sebagai berikut:

· Pasal 390 ayat (1)

Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum.


· Pasal 390 ayat (2)

Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat jurusita itu disampaikan pada ahli warisnya; jika ahli warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa di tempat tinggal yang terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut pada ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang Asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada Balai Harta Peninggalan.


· Pasal 390 ayat (3)

Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu disampaikan pada Bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal penggugat dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya hakim yang berhak berkedudukan. Bupati itu memaklumkan surat jurusita itu dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan dari hakim yang berhak.

Analisa

Dari ketentuan-ketentuan dan pendapat ahli di atas, yang dapat dilakukan Hakim terhadap kedua belah pihak yaitu:

· Penggugat yang sengaja tidak hadir dalam sidang pertama, padahal ia yang mempunyai inisiatif mengajukan gugatan, sikap Penggugat yang demikian dapat dinilai oleh Hakim bahwa Penggugat beritikad buruk, sedangkan Tergugat telah hadir artinya Tergugat dapat dinilai oleh Hakim ia telah beritikad baik untuk menyelesaikan perkaranya, maka oleh Hakim dapat menyatakan gugatannya digugurkan dan Penggugat dihukum mebayar biaya perkara;

· Tergugat yang sengaja tidak hadir dalam sidang pertama, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, Penggugat telah mengeluarkan biaya dan hadir di persidangan, oleh Hakim Tergugat dinilai beritikad buruk, maka oleh Hakim dapat menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan dengan verstek (tanpa hadirnya Tergugat);

· Dalam sidang pertama apakah Penggugat atau Tergugat yang tidak hadir dalam persidangan, Hakim jika perlu dapat menunda sidang dengan memerintahkan memanggil kepada pihak yang tidak hadir, jadi jika dalam sidang pertama Penggugat yang tidak hadir atau Tergugat yang tidak hadir Hakim masih memberi kesempatan yang sama untuk memanggil lagi;

· Dalam sidang pertama Penggugat hadir Tergugat hadir, namun dalam sidang berikutnya Tergugat tidak hadir, maka Hakim wajib memanggil Tergugat untuk hadir dalam sidang berikutnya;

· Tujuan adanya pasal 126 HIR ini adalah untuk memberikan kelonggaran bagi para pihak dan supaya Hakim tidak tergesa-gesa dalam memberikan putusan dikarenakan adanya kemungkinan para pihak tidak datang karena ada halangan-halangan tertentu (misalnya, salah satu pihak tersebut tidak mengetahui adanya panggilan tersebut).

Namun apabila setelah dua kali persidangan dan pihak Tergugat tidak hadir juga setelah dipanggil dengan patut, maka mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, seharusnya persidangan dapat dilanjutkan.

Kesimpulan

Dari ketentuan-ketentuan di atas, pemanggilan dalam persidangan tidak harus sampai 3 (tiga) kali jika salah satu tidak hadir dalam pemanggilan pertama. Jika ketidakhadiran Penggugat dalam sidang pertama hakim dapat memutuskan Penggugat gugur atau Hakim masih dapat menunda sekali lagi untuk memanggil Penggugat untuk hadir dalam persidangan, begitu pula sebaliknya ketidakhadiran Tergugat dalam persidangan pertama, tidak ada keharusan bagi Hakim harus memutus perkaranya dengan mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek, tetapi hakim masih dapat menunda sekali lagi untuk memanggil Tergugat untuk hadir dalam persidangan, hal ini tercantum dalam Pasal 150 R.Bg./126 HIR.

Kebiasaan tiga kali dalam pemanggilan tumbuh dan berkembang dalam praktik peradilan agar Hakim tidak tergesa-gesa dalam memberikan putusan dikarenakan adanya kemungkinan para pihak tidak datang karena ada halangan-halangan tertentu.


Referensi:

1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 9 Tahun 1964 tertanggal 13 April 1964

4. M. Yahya Harahap, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.

5. Artikel Tergugat Dua Kali Dipanggil Sidang Tidak Hadir Apakah Perlu Dipanggil Lagi oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H., (Hakim PTA Mataram) tertanggal 25 April 2016

6. Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta: PT Tatanusa, 2004


Putusan Verstek Sebagai Konsekuensi Ketidakhadiran Tergugat di Persidangan

Oleh : Prilla Geonestri Ramlan   Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) merupakan salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Keuangan...