Wednesday, August 24, 2022

Perbedaan Perkara Perdata dengan Perkara Pidana


Perkara dapat diartikan sebagai masalah atau persoalan yang memerlukan penyelesaian. Secara teori, perkara dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Perkara yang mengandung sengketa/perselisihan dimana terdapat kepentingan atau hak yang dituntut oleh pihak yang satu terhadap pihak lain.

2. Perkara yang tidak mengandung sengketanya/perselisihan di dalamnya. 




Perkara yang Mengandung Sengketa

Tugas hakim dalam hal ini adalah menyelesaikan sengketa dengan adil, dimana hakim terbatas mengadili pada apa yang dikemukakan dan apa yang diminta para pihak untuk menghasilkan putusan hakim. Tugas hakim tersebut termasuk “jurisdiction contentiosa” yaitu kewenangan mengadili dalam arti sebenarnya untuk memberikan suatu putusan hakim.

Dalam sengketa selalu terdapat lebih dari satu pihak yang saling berhadapan, yaitu “Penggugat” dan “Tergugat”. “Penggugat” adalah pihak yang dapat mengajukan gugatan yang memiliki kepentingan yang cukup, sedangkan “Tergugat” adalah orang yang digugat oleh “Penggugat”. 

Perkara yang Tidak Mengandung Sengketa

Tugas hakim termasuk “jurisdictio volunteria” yaitu memeriksa perkara yang tidak bersifat mengadili, tetapi bersifat administratif untuk mengatur dan menetapkan suatu hal dan menghasilkan penetapan hakim.

Dalam perkara yang tidak mengandung sengketa, hanya terdapat satu pihak saja yaitu “Pemohon”, orang yang meminta kepada hakim untuk menetapkan sesuatu kepentingan yang tidak mengandung sengketa. 

Perbedaan Hukum Perdata dengan Pidana

Hukum Pidana

Menurut  C.S.T. Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (hal. 257), Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

Hukum Perdata

Menurut Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 9) mengatakan bahwa hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Perbedaan Perkara Perdata dengan Pidana

Menurut Abdulkadir Muhammad (1990: 26-28), perbedaan perkara perdata dengan perkara pidana dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu:

1. Dasar timbulnya perkara

Perkara perdata timbul karena terjadi pelanggaran terhadap hak seseorang seperti diatur dalam hukum perdata. Sedangkan Perkara pidana timbul karena terjadi pelanggaran terhadap perbuatan pidana yang telah ditetapkan dalam hukum pidana. Perbuatan pidana tersebut bersifat merugikan negara, mengganggu ketertiban umum, dan mengganggu kewibawaan pemerintah.

2. Inisiatif berperkara

Dalam perkara perdata, inisiatif berperkara berasal dari pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan dalam perkara pidana, inisiatif berperkara berasal dari pihak penguasa negara melalui aparaturnya yaitu Polisi dan Jaksa Penuntut Umum.

3. Istilah yang digunakan

Dalam perkara perdata, pihak yang mengajukan perkara ke muka hakim disebut “Penggugat”, sedangkan pihak lawannya adalah “Tergugat”. Dalam perkara pidana, pihak yang mengajukan perkara ke muka hakim disebut Jaksa Penuntut Umum. Pihak yang disangka melakukan kejahatan/perbuatan pidana disebut “Tersangka”, dan apabila pemeriksaannya diteruskan ke Pengadilan, maka pihak yang disangka melakukan kejahatan disebut “Terdakwa”.

4. Tugas hakim dalam acara

Dalam perkara perdata, tugas hakim adalah mencari kebenaran sesungguhnya dan sebatas dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh pihak-pihak.

Sedangkan dalam perkara pidana, tugas hakim yaitu mencari kebenaran sesungguhnya, tidak terbatas pada apa yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengejar kebenaran materiil.

5. Tentang perdamaian

Dalam perkara perdata, selama belum diputus oleh hakim, selalu dapat ditawarkan perdamaian untuk mengakhiri perkara, sedangkan dalam perkara pidana tidak boleh dilakukan perdamaian.

6. Tentang sumpah

Dalam perkara perdara, mengenal sumpah decissoire yaitu sumpah yang dimintakan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain atau lawannya tentang kebenaran suatu peristiwa sedangkan dalam perkara pidana tidak mengenal sumpah tersebut.

7. Tentang hukuman

Dalam perkara perdata, hukuman yang diberikan oleh hakim kepada pihak yang kalah berupa kewajiban untuk memenuhi suatu prestasi. Disisi lain, dalam perkara pidana, hukuman yang diberikan kepada terdakwa berupa hukuman badan.


Sumber:

http://mimbarhukum.com/pengertian-perkara-perbedaan-perkara-perdata-dengan-pidana/

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57f2f9bce942f/perbedaan-pokok-hukum-pidana-dan-hukum-perdata/


(Penulis : Dewi Lestuti Ambarwati)

Monday, August 22, 2022

Perdata Tunda Pidana atau Pidana Tunda Perdata? Sumber: Perdata Tunda Pidana atau Pidana Tunda Perdata? | KlikLegal


Dalam beberapa perkara pidana yang sedang berjalan, ternyata ada perkara perdata juga yang sedang berjalan. Mana yang seharusnya diperiksa dan diputus lebih dulu? Apa yang menjadi penentuannya? Dalam suatu persoalan hukum, tidak jarang adanya perkara perdata dan pidana yang diajukan secara bersama. Sering kali terjadi adanya tindak pidana penipuan dalam sengketa hutang piutang.  

Dalam perkara lain, saat ada dugaan pencurian, ternyata benda yang dicuri menjadi objek sengketa kepemilikan pada persidangan perdata. Tentunya menjadi pertanyaan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu? Apakah perkara pidana ataukah perdata yang harus diselesaikan terlebih dahulu? Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah sengketa antara Kementerian Lingkungan Hidup melawan PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) tahun 2005. Sengketa ini berawal adanya dugaan pencemaran di Teluk Buyat yang dilakukan PT NMR. Kasus pencemaran ini berujung pada digugatnya PT NMR oleh kepolisian karena adanya dugaan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup, selain itu Kementerian Lingkungan Hidup juga melakukan gugatan ganti rugi secara perdata terhadap pencemaran yang dilakukan oleh PT NMR. Di kasus lainnya, terjadi sengketa jual beli tanah hingga mengakibatkan penggelapan dalam sengketa antara Henry Jocosity Gunawan melawan Notaris Caroline di Pengadilan Negeri Surabaya. 

Kasus ini berawal dari transaksi jual-beli tanah dan bangunan yang dilakukan Henry dengan klien Caroline. Setelah dilakukannya pembayaran, Henry tidak kunjung memberikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah disepakati. Lebih lanjut, Henry justru menjual kembali SHGB tersebut ke orang lain dengan harga yang lebih tinggi. Sengketa tersebut dilaporkan oleh Notaris Caroline dengan sengketa perdata jual beli namun pihak kejaksaan melakukan penahanan dan penetapan tersangka terhadap Henry atas kasus dugaan penipuan dan penggelapan. Hingga akhirnya perkara tersebut diputus pidana oleh hakim karena terbukti melakukan terdakwa melakukan penggelapan dan penipuan. Seringkali yang menjadi persoalan ketika suatu putusan pidana dijatuhkan, ternyata setelah vonis tersebut masalah keperdataan, misalnya terkait objek kepemilikan justru dimenangkan oleh orang yang sudah divonis tersebut.  Jika konteksnya adalah perkara pencurian, maka akan menjadi aneh ketika, orang yang diputus melakukan pencurian ternyata dalam perkara perdata dinyatakan sebagai pemilik dari objek yang disengketakan. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan putusan pidana batal atau tidak berlaku. 

Dan jelas jadi merugikan orang yang memiliki benda tersebut, namun dihukum karena mencuri benda miliknya sendiri. Berangkat dari sengketa yang terjadi di tengah masyarakat tersebut, lantas perkara mana yang seharusnya diputus telebih dahulu? Perkara Perdata Didahulukan Pada dasarnya sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perkara yang harus didahulukan apabila terjadinya sengketa perdata dan pidana secara bersamaan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU NO.1/1950) pada Pasal 131 disebutkan bahwa: “Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan.” Didasari hal tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956). 

Disebutkan dalam Pasal 1 Perma No.1/1956 bahwa: “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.” Sehingga seharusnya sudah menjadi jelas bahwa dalam terjadinya perkara perdata dan pidana, dapat dilakukan pemutusan terlebih dahulu perkara perdata sebelum memutus perkara pidana.  C Djisman Samosir, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, dalam kesempatannya sebagai ahli dalam sidang praperadilan sengketa Henry Jocosity Gunawan (2017) menyampaikan pendapatnya bahwa perkara pidana seharusnya ditunda terlebih dahulu prosesnya, hingga gugatan perdata yang diperiksa memiliki putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Mahkamah Agung (MA) pun pernah menjatuhkan putusan untuk melakukan penundaan perkara pidana dengan terlebih dahulu menunggu penyelesaian perdata.  Sebagaimana tertuang dalam Putusan MA No. 628 K/Pid/1984, dimana dalam putusan tersebut MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan memerintahkan untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap mengenai status kejelasan kepemilikan tanah (perdata). Hal ini dikarenakan, apabila status keperdataan belum memiliki kejelasan, maka perkara pidana tidak dapat dilanjutkan.  

Prejudiciel Geschil Melihat lebih lanjut dari perkara perdata atau pidana yang didahulukan dengan adanya Prejudiciel Geschil. Dalam sistem pengadilan Indonesia mengenal adanya istilah prejudicel geschil. Menurut Kamus istilah hukum Fockema Andrea, prejudiciel geschil adalah sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakangnya. 

Ketentuan akan prejudicial geschil ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1980 (SEMA No.4/1980). Dalam SEMA No.4/1980 menyebutkan 2 (dua) ketentuan dari prejudicial geschil yaitu: Question prejudicielle a I’ action: mengenai perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP yang antara lain Pasal 284 KUHP. Dimana dalam kasus tersebut diputus terlebih dahulu ketentuan perdata sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana. Question prejudicielle au jugement: menyangkut permasalahan dalam Pasal 81 KUHP. Dimana pasal tersebut hanya sekedar memberi kewenangan bukan kewajiban kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya. Sudah sepatutnya dengan adanya prejudiciel geschil tersebut menjadikan pertimbangan hakim dimana sebaiknya memutus suatu perkara pidana dan perdata yang disengketakan secara bersama. Kasus perdata sudah seharusnya untuk didahulukan daripada pidana. 

Tentunya hal tersebut dapat bermanfaat apabila terjadinya suatu tuntutan pidana, dan disisi lain adanya sengketa kepemilikan suatu hal dengan pihak dan benda yang sama pada perkara pidana. Seperti halnya yang terjadi pada kasus Riki Irawan yang didakwa melakukan pencurian pipa besi yang diakui milik dari Pertamina Prabumulih. Pada akhirnya Riki divonis bersalah dengan putusan PN Kayuagung Nomor 159/Pid.B/2015/PN Kag. Sedangkan disaat bersamaan H.Ahmad mengajukan gugatan kepada Pertamina Prabumulih dengan nomor gugatan Nomor 3/Pdt.G/2015/PNBM bahwa kepemilikan pipa besi tersebut bukanlah milik Pertamina Prabumulih tetapi milih H. Ahmad dan Riki Irawan. 

Gugatan yang diajukan oleh H. Ahmad tersebut berhasil dimenangkannya. Hal tersebut menjadi pertanyaan keadilan putusan hakim dimana suatu kepemilikan benda masih disengketakan akan tetapi Riki sudah divonis bersalah melakukan pencurian. Dalam pertimbangannya Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung menyatakan bahwa Hakim tidak terikat dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956) sehingga Riki divonis 1 tahun penjara. Lebih lanjut Perma No.1/1956 menyebutkan antara lain dalam Pasal 1 dan Pasal 3 bahwa: 

Pasal 1: Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu. 

Pasal 3: Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi. Dengan adanya Perma No.1/1956 memunculkan adanya konsekuensi hukum yang bisa memberi kewenangan pada Hakim untuk menunda persidangan pidana ataupun tidak. Tentunya suatu persoalan yang diajukan bersamaan secara perdata dan pidana, lebih baik untuk menunda perkara pidana dan menunggu putusnya perkara perdata, sehingga dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat. 

Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan Hakim untuk melanjutkan proses persidangan pidana walaupun adanya sengketa perdata secara bersamaan kasus yang sama.  Selain itu, ada beberapa ketentuan maupun situasional yang dapat mengakibatkan perkara pidana yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie atau biasa disebut Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia menyebutkan: Pasal 29: “Selama dalam proses penuntutan pidana, ditundalah tuntutan perdata mengenai ganti-rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh Undang-Undang” Pasal 30: “Tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau ditunda dengan mengingat adanya gugatan perdata, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang.” Apabila didasari oleh hal tersebut, tentunya perkara pidana yang seharusnya lebih didahulukan daripada perkara perdata. Karena ganti rugi tidak dapat dimintakan jika perbuatan melawan hukum pidana belum terbukti. Karena ganti rugi dala konteks ini berkaitan dengan kerugian akibat perbuatan pidana yang dilakukan.  Dalam perkara tertentu penyelesaian perkara pidana juga wajib didahulukan daripada perkara perdata ataupun perkara lainnya. Salah satunya dalam kejahatan tindak pidana korupsi. 

Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyebutkan pada Pasal 25 bahwa: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.” Sehingga dalam perkara tertentu yang sudah diatur oleh undang-undang perkara pidana dapat didahulukan daripada perkara lain yang diajukan secara bersamaan. Perma No.1/1956 sudah jelas mengatur bahwa perkara pidana yang perlu adanya putusan perdata akan suatu kepemilikan ataupun hubungan hukum antar pihak dapat dilakukan penundaan akan persidangan pidananya. Akan tetapi, Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan pada hakim untuk menilai perlu adanya penundaan atau tidak. Sehingga jelas, mengenai perkara perdata atau pidana yang harus diputus terlebih dahulu menjadi kewenangan Hakim untuk sepenuhnya menilai hal tersebut. Namun setidaknya, benang merah dari keduanya adalah relasi, apakah kerugian perdata yang timbul akibat perbuatan pidana. Atau, perbuatan pidana baru dapat dibuktikan jika tidak ada sengketa keperdataan soal kepemilikan suatu benda. 

source : https://kliklegal.com/perdata-tunda-pidana-atau-pidana-tunda-perdata/


Tuesday, August 9, 2022

Ahli: Mahkamah Parpol Bukan Badan Peradilan



Mahkamah Partai Politik bukan termasuk sebagai badan peradilan seperti yang tercantum dalam Konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Ilham Hermawan selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang uji materiil terhadap Undang-Undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) pada Kamis (17/9), di Ruang Sidang MK. Dalam sidang perkara yang terdaftar dengan nomor 78/PUU-XIII/2015 tersebut, Pemohon menguji ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol dan Pasal 2 angka 5 UU PTUN yang dinilai membuka peluang putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan, diujikan ke Pengadilan Negeri.

Menurut Ilham, tuntutan untuk mengakui bahwa Mahkamah Partai merupakan badan peradilan, hendaknya perlu memperhatikan kembali substansi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Menurutnya, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya yakni lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, telah secara limitatif membatasi ruang lingkup badan peradilan.

“Ketentuan konstitusional tersebut telah memberikan batasan secara limitatif terhadap ruang lingkup badan peradilan. Pencantuman nama badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung menyebabkan tidak membenarkan keberadaan peradilan lain selain 4 lingkup tersebut,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.

Terhadap pasal yang diujikan, Ilham menyatakan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol mempunyai makna, tidak ada upaya apa pun yang dapat ditempuh terhadap putusan perselisihan kepengurusan partai. “Makna Pasal 33 ayat (1) secara jelas dipahami tidak termasuk perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan partai. Tidak ada upaya apa pun yang dapat ditempuh terhadap putusan perselisihan kepengurusan partai. Jadi pasal tersebut secara normatif tidak mengakibatkan hilangnya esensi kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urai Ilham.

Ia juga mengungkapkan, permasalahan yang terjadi sebenarnya terletak pada penerapan atau pelaksanaan norma. Seharusnya, Pengadilan Negeri tidak dapat menerima Putusan Mahkamah Partai yang pokok persoalannya tentang kepengurusan partai politik. Keputusan Pengadilan Negeri menerima perkara tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum. “Putusan Pengadilan Negeri ini menjadi potensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Perbuatan inilah yang menjadi kesalahan berpikir yang semakin menunjukkan wajah buram peradilan negeri ini. Bahkan wajah buram ini semakin tampak dengan adanya perbedaan penafsiran antara Pengadilan Negeri,” tuturnya.

Pandangan serupa juga diungkapkan ahli Pemerintah lainnya, Maruarar Siahaan. Menurutnya,  apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon bukan mengenai konstitusionalitas norma, melainkan penerapan norma. “Sesungguhnya argumen yang secara panjang-lebar dikemukakan Pemohon, menurut pendapat saya tidak terlalu menunjukkan dengan tegas persoalan inkonstitusionalitas dalam norma-norma yang diajukan untuk diuji, meskipun harus diakui bahwa kadar kejelasan rumusan atau clarity (norma, red) masih dapat diperbaiki,” paparnya.

Maruarar kemudian menyampaikan pendapatnya terkait norma yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol. “Sesungguhnya Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 telah mengecualikan putusan Mahkamah Partai tentang sengketa internal kepengurusan partai politik yang tidak dapat dibawa ke pengadilan negeri, dan keraguan itu muncul karena adanya frasa dalam hal penyelesaian perselisihan tidak tercapai, yang sesungguhnya telah diuraikan,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, permohonan ini diajukan oleh Gusti Iskandar yang bermaksud mengajukan diri sebagai calon Gubernur Kalimantan Selatan periode 2015-2020. Namun, pengajuan pendaftaran Gusti Iskandar sebagai calon Gubernur tersebut ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Pemohon, penolakan itu dilatarbelakangi berlarut-larutnya konflik Partai Golkar yang disebabkan adanya Pasal 33 ayat (1) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai Pemohon membuka peluang putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan, diujikan ke Pengadilan Negeri.

Selain itu, Pemohon juga menganggap Pasal 2 angka 5 UU PTUN tidak tegas dalam memberikan makna bahwa ‘badan peradilan’ juga termasuk ‘Mahkamah Partai’ atau sebutan lain yang memiliki putusan bersifat final dan mengikat terkait sengketa kepengurusan. (Lulu Anjarsari/IR)


source :https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12052

ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN MODERN


 




A.    PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan memang berkembang begitu cepat. Hal ini dimungkinkan, karena ia mengibaskan cara orang mengusahakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.

Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1].

Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.

Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.

Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4]. Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[5]

Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas. Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7]. ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain.

Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.

Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.

 B.     PERMASALAHAN 

Berdasarkan pergerakan-pergerakan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan maka teknologi terus mengalami perubahan secara cepat, oleh karena itu hukum harus bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut, maka dengan sendirinya hukum sebagai suatu bidang ilmu dapat memberikan panduan bagi seorang sarjana hukum yang kini terbawa dan masuk dalam ranah ilmu hukum yang terintegral dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini banyak membawa para sarjana hukum berfikir lebih praksis dan bukan lagi berfikir sebagai ilmuwan hukum.

Dengan merujuk pernyataan diatas maka penulis mencoba mengkaji permasalahan ilmu hukum yang menjadi pusat perdebatan dikalangan para sarjana hukum itu sendiri dengan permasalahan “Bagaimanakah Perspektif Ilmu Hukum Sebagai Salah Satu Ilmu Pengetahuan Modern”.

 C.    TEORITIS

Sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan tentunya kita harus melihat dulu bagaimana padangan para ahli tentang hukum itu. Ketika mempertanyakan  tentang apa (hakikat) hukum itu, sebenarnya juga sudah masuk pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya juga dapat dijawab oleh ilmu hukum, akan tetapi jawaban tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat berpijak dari pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka[8]. Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat  apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Menurut Utrecht: “Filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan: keadilan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch wardeoordeel”[9].

Ruang lingkup Filsafat Hukum antara lain dapat ditilik dari perumusan pengertian tentang Filsafat Hukum. Mencermati adanya berbagai perumusan yang variatif maka tidaklah dapat dikatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum bersifat baku dan stagnant, namun sebaliknya luwes dan berkembang. Namun demikian titik pangkalnya tetap sama yakni tentang hakikat hukum yang paling mendalam atau hakiki.

Perkembangan terletak pada hakikat hukum yang dapat dilihat dari berbagai perspektif antara lain tentang tujuan hukum, keadilan, dasar mengikatnya hukum, atau mengapa hukum ditaati dan sebagainya. Perkembangan ruang lingkup Filsafat Hukum dapatlah ditengarai dengan pokok pikiran bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum sudah bergeser pada batasan ruang lingkup yang dibuat atau disepakati sebagai masalah Filsafat Hukum oleh para filsuf masa lampau. Misalnya masalah dasar yang menjadi perhatian filsuf masa lampau terhadap Filsafat Hukum terbatas pada tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif, hubungan negara dan hukum, dan sebagainya.

Pada masa kini objek kajian atau ruang lingkup kajian Filsafat Hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang berkaitan dengan masalah hukum. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum sekarang tidak lagi Filsafat Hukumnya para ahli filsafat seperti di masa-masa lampau, melainkan merupakan hasil pemikiran pula para ahli hukum (teoritisi maupun praktisi) yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di dalam masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut Friedmann menyatakan sebagai berikut.“Before the nineteenth century, legal theory  was essentially a by product of philosophy, religion, ethics, or politic. The great legal thinkers were primarily philoshopers, churhmen, politicians. The decisive shift from the philpshoper’s or politician’s to the lawyer’s legal philosophy is of fairly recent date. It follows period of great developments in juristic research, technique and professional training. The new era of legal philosophy arises mainly from the confrontation of the professional lawyer, in his legal work, with problems of social justice”[10].

Socrates yang melakukan dialog dengan Thrasymachus (Sofinsft) berbendapat bahwa ketika mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak, jangan diserahkan semata-mata kepada orang perorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat, melainkan keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarakat[11].

Plato juga sudah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam Filsafat Hukum. Baginya keadilan (justice), adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari manusia terhadap lingkungannya agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik. Plato juga berpendapat bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power)[12].

Aristoteles tidak pernah mendefinisikan hukum secara formal. Ia membahas hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang lain Aristoteles mengatakan bahwa “Hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, Aristoteles juga menolak pandangan kaum Sofis bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian  ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan sesuatu kelas khusus dan menekankan peranan kelas menengah sebagai faktor stabilisasi[13].

Dalam dunia  pemikiran terhadap hukum, pada zaman ini menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.

Dalam hal ini dibedakan 4 (empat) jenis hukum yaitu, pertama, Lex aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara rasional dari Tuhan; kedua, Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang membimbing manusia menuju tujuan supranaturalnya, hukum Tuhan diwahyukan melalui kitab suci; ketiga, Lex naturalis (hukum alam, natural law), membimbing manusia manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam bentuk kosmik; keempat, Lex human (hukum manusia, human law), mengatur hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan)[14].

Oleh Thomas Kuhn mendefinisikan : “…Recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”[15]. Sedangkan menurut Liek Wilardjo merumuskan : “Sebagai model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya unuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan”[16]. Lain lagi menurut Angkasa :“Pandangan Fundamental Dari Suatu Komunitas Ilmuwan Tentang Model Yang Menunjukkan Pokok Persoalan Yang Mendasar, Teori Beserta Metode Pemecahannya“.[17]

Sehingga dalam perkembangannya ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan banyak teori-teori yang memacu pemikiran-pemikiran tentang hukum, Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni[18] mengatakan bahwa sebuah teori hukum positif yang merupakan sebuah teori hukum umum, bukan sebuah presentasi atau implementasi dari peraturan legal khusus. Dengan membandingkan semua fenomena yang mengatasnamakan hukum, ia mencoba mengungkapkan hakikat hukum itu sendiri, menentukan strukturnya dan karateristik bentuk-bentuknya, independen dari konten perubahan yang dialaminya pada waktu yang berbeda dan diantara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda pula. Dengan cara ini ia mendapatkan prinsip-prinsip fundamental yang dengannya tiap peraturan legal dapat dipahami. Sebagai teori, tujuan satu-satunya adalah untuk mengetahui subyeknya. Maka untuk menjawab pertanyaan tentang apakah hukum itu, bukan seperti apa yang seharusnya. Pertanyaan yang disebut belakangan adalah bagian dari bidang politik, sedangkan teori hukum murni adalah pengetahuan ilmiah.

Hans Kelsen juga mengatakan “kemurnian” murni, untuk menghindari rekognisi hukum positif dari semua elemen yang asing, batasan subyek ini dan rekonigsi harus tetap dengan jelas dalam dua arah : ilmu hukum yang spesifik, prinsip yang biasanya disebut jurisprudensi, harus dibedakan dari filsafat keadilan, di satu sisi, dan dari sosiologi, atau kognisirealitas sosial, di sisi lain[19].

Ilmu hukum menunjukkan penafsiran normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang tergabung dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan demikian ia menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu[20].

Menurut Hegel, pemisahan “hukum yang ada” dan “hukum yang seharusnya ada” sama sekali tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dijelaskan pula dalam karya Austin maupun Kelsen, pemisahan itu menempatkan keduanya pada bidang yang benar-benar berbeda[21].

Dalam hal ini ilmu hukum dalam mencari bentuk yang lebih modern maka menggunakan model positivisme, hal in dapat dilihat ketika Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre mengatakan Hukum  itu adalah susunan logis dari peraturan perundang-undangan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu, esensi dari teori Hans Kelsen adalah :

  1. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiciplity to unity.
  2. Legal theory is science, not volition. It is knowladge of what the law is, not what the law. The law is a normative not a natural science.
  3. Legal thery as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms.
  4. A theory of law is formal, a theory of the way of ordingring, changing contents in a specific way.[22]

Pada abad ke-duapuluh, studi hukum banyak mengalami perubahan dari ranah dasarnya sebagai suatu ilmu, hal itu terjadi dengan kemunculan aliran socilogical jurisprudensi yang dipelopori oleh Roscoe pound ( 1911)[23].Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan hukum penerapannya, melainkan juga akibat yang timbul terhadap masyarakat.

Aliran dan gerakan keluar dari ranah hukum postif selanjutnya mengalami kemajuan yang cukup mencolok. Perkembangan tersebut oleh Alan Hunt disebut sebagai “socialogical movement in law” buku Hunt dengan judul yang sama diawali dengan kalimat “the twentieth century has produced a movement towards the sociologically oriented study of law. The study of law can no longer be regarded as the exclusive preserve of legal professionals, whether practioners or academics. There has emerged a sociological movement in law which has had as its common and explicit goal the assault on legal exclucivism..... [24].

Menurut hemat saya bahwa studi ilmu hukum harus benar-benar didasarkan pada subyek dan obyek serta tujuan hukum itu sendiri sebelum keluar dan berintegrasi dengan ilmu-ilmu lain, sehingga pandangan hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan masih berdiri sesuai dengan koridor hukum itu sendiri. Karena hukum bukan berarti bahwa harus menjadi beban dalam masyarakat akan tetapi sebagai suatu seni (art of law) untuk mengatur masyarakat dan hukum bukan sekedar suatu sanksi yang harus di taati oleh masyarakat sehingga menurut penulis hukum pada umumnya dapat dikatakan sebagai “perwujudan dari tingkah laku manusia secara individu dan bukan masyarakat pada umumnya”. Atau lebih khusus hukum dapat dikatakan adalah “pengulangan dari tingkah laku manusia yang tergabung/terintegral dengan manusia lain yang membentuk suatu masyarakat dengan norma-norma yang secara individu telah ada, dan terbentuk dalam satu aturan yang sakral dan ditaati dengan sanksi berupa hukuman dan moral baik itu secara memaksa maupun tidak”.[25]

D.    PEMBAHASAN

1.         Perspektif Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.

Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan menjembantani antara dua realitas tersebut.

Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”[26]. Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.

Untuk memahami validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain.

Untuk mempelajari konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya.

Mempelajari norma-norma hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif, hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang normatif.

Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.

Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[27]. Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari banyak hal yang bersilangan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.

 2.        Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam hal sekarang untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu. Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)

Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang  tampaknya juga berperan dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas.

Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi  pada saling menguat, atau melemah.

Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.

Paradigma  Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut  Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.

Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.

Dengan demikian, paradigma  utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.

Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.

Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk  memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian  tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti  sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.

Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.

Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[28]Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.

Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.”.

Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.

 

E.     PENUTUP

Perkembangan ilmu hukum saat ini mengalami kemajuan yang sengat cepat seiring dengan perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga setiap sarjana hukum harus dapat menyesuaikan ilmunya untuk dapat mengimbangi perkembangan tersebut. Akan tetapi hal tersebut telah berubah dengan meninggalkan siaft-sifat asli dari ilmu yang dipelajarinya.

Ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang mandiri dan seharusnya dapat bekerja sendiri sesuai dengan konsep-konsep hukum yang murni dan menghasilkan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang lebih modern. Oleh sebab itu ilmu hukum harus kembali dalam konsep yang utama sebagai ilmu hukum yang murni.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan modern adalah dengan mengembalikan ilmu hukum kedalam eksistensinya sebagai kesatuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari dan dikaji sebagaimana mestinya.

 

[Penulis adalah Dosen Univesitas Pembangunan Indonesia Manado Sekarang Mahasiswa Pascasarjana Megister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto]  

F.      DAFTAR REFENSI

Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana MIH Unsoed.

Apeldoorn, Van ’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, 1985.

Chand, Hari, modern Jurisprudence, International Law Book Services Kuala Lumpur, 1996.

Gijssels, Jan and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982.

Hunt, Alan, socialogical movement in law, lihat Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, hal. 5. 

Junaidy, Ronny K., Mahasiswa pascasarjana MIH Unsoed sebagai penulis.

Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, 2009 .

....................... Teori Hukum Murni “Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif”, Nusa Media, 2009 .

Marzuki, Peter Mahmud, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum,  Kencana, Jakarta, 2009

Pound, Rescoe, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960.

....................., Scope and Purpose of Sociological Jurisprundece, dalam Harvard Law Review, jilid XXIV No. 8 ., lihat  Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, 2005.

Rasjidi, Lili & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum,  Mandar Maju, 2007.

 

 


[1].  Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press, athens. 1960. P.1.

[2]. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Penelitian Hukum,  Kencana, Jakarta, Hal. 18.

[3]. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M., Prof., Ibid., Hal 19

[4]. Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen, Antwerrpen, 1982, p. 8.

[5]. Ibid., p. 9

[6]. Dalam Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, P. Van Dijk et.al. menterjemahkan rechtsdogmatiek ke dalam bahasa jerman sebagai jurisprudenz, yang artinya memang tepat jurisprudence, lihat P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985, pp. 447-448. Bahasa Latin sui generis berarti hanya satu dari jenis tersebut.

[7]. Hari Chand, modern Jurisprudence, International Law Book Services Kuala Lumpur, 1996, p. 6

[8]. Dalam Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, P. Van Dijk et.al. menterjemahkan rechtsdogmatiek ke dalam bahasa jerman sebagai jurisprudenz, yang artinya memang tepat jurisprudence, lihat P van Dijk et.al., Van Apeldoorn’s inleiding tot de studie van nederlandse recht, Tjeenk-Willijnk., 1985, pp. 447-448. Bahasa Latin sui generis berarti hanya satu dari jenis tersebut.

[9]. Angkasa, Dalam materi kuliah filsafat hukum, MIH Pascasarjana Unsoed.

[10]. Angkasa,. Dalam materi kuliah filsafat hukum, MIH Pascasarjana Unsoed.

[11]. Angkasa,. Dalam materi kuliah filsafat hukum, MIH Pascasarjana Unsoed.

[12]. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Hilsafat Hukum,  Mandar Maju, hlm.56.

[13]. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Hilsafat Hukum,  Mandar Maju, hlm.77.

[14]. Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, MIH Pascasarjana Unsoed

[15]. Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, MIH Pascasarjana Unsoed

[16]. Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, hal 25.

[17]. Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, MIH Pascasarjana Unsoed

[18]. Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, hal 37.

[19]. Hans Kelsen, Teori Hukum “Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, hal. 156

[20]. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hal. 7

[21]. Hans Kelsen, Teori Hukum “Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, hal. 236

[22]. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hal. 12

[23]. Rescoe Pound, Scope and Purpose of Sociological Jurisprundece, dalam Harvard Law Review, jilid XXIV No. 8 ., lihat Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, hal. 5.

[24]. Alan Hunt, socialogical movement in law, lihat Satjipto Raharjo dalam Jurnal Progresif “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, volume 1 No. 2, hal. 5.  

[25]. Ronny Junaidy K., mahasiswa pascasarjana MIH Unsoed sebagai penulis.

[26]. Dalam terjemahan : Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.

[27]. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hal. 8

[28]. Angkasa, Dalam Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana MIH Unsoed.

Putusan Verstek Sebagai Konsekuensi Ketidakhadiran Tergugat di Persidangan

Oleh : Prilla Geonestri Ramlan   Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) merupakan salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Keuangan...